Rabu, 27 Februari 2013

Love with Heart



Fiona sibuk memasukkan buku-buku pelajaran ke dalam ransel kiplingnya. Hari ini, gadis bersoftlens abu-abu itu bangun kesiangan dan lupa menata buku-bukunya. Semalam, ia lembur untuk mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk.
“Fi, udah belum? Ayo berangkat! Nanti Papi telat,” panggil Papi Fiona dari ruang makan.
“Iya, Pi. Bentar lagi,” jawab Fiona dari dalam kamar. Terburu-buru ia mengambil jam tangan dan pita merah dari rak aksesorisnya. Tak lupa, ia menyambar BB Torch nya dari meja belajar. Setelah itu, segera saja ia melesat keluar dari kamar dan memasukkan kaki asal-asalan ke dalam sepatu keds putih pink nya. Punggung kanannya menggendong ransel kipling, tangan kirinya membawa kaos kaki dan map pink, tangan kanannya menyambar setangkap roti bakar di meja makan setelah sebelumnya juga membawa pita dan jam tangan. Benar-benar bukan pemandangan yang enak dilihat.
“Fio, Papi udah bilang kan berkali-kali, kamu itu harus bisa bangun pagi setiap hari. Jalanan di Semarang tambah macet tiap harinya,” kata Papi Fiona ketika ia sudah di mobil.
“Fhio semawem kwetiduhran abish lhembuhr tuwgash,” kata Fiona dengan mulut yang penuh roti. Di tengan kesibukannya mengunyah, Fiona masih bisa menjawab pertanyaan Papinya sambil memakai jam tangan dan pitanya. Benar-benar hebat gadis ini.
“FIO! Jangan makan sambil ngomong gitu dong. Jorok ih,” seru Papi Fiona.
“Lagian Papi ngajak ngomong waktu Fio lagi makan,” jawab Fiona. Gadis itu sudah selesai makan dan sedang memakai kaus kakinya. Setelah semua pekerjaannya beres, Fiona mengambil BB nya dari kantong roknya dan membalas BBM yang masuk.

“Fio!” panggil Evan ketika melihat Fiona di kantin.
“Hei, Van!” jawab Fiona sambil berjalan ke arah Evan.
“Fi, kamu nggak makan?” tanya Klara sahabatnya. Selain Klara, masih ada 2 sahabatnya yang lain yang ikut ke kantin.
“Nggak usah, kalian aja sana cari makan,” jawab Fio mulai duduk di depan Evan yang lagi makan bakso.
“Yaudah, tinggal ya, Fi! Ntar kalo kami mau naik, kamu aku ajak,” kata Cheryl.
“Ciyee, ada Evan langsung nggak laper nih, tadi aja ribut pengen makan,” goda Calvin sambil berbisik kepada Fiona. Wajah Fiona pun langsung berubah warna jadi merah.

“Fi, Cher, Vin, kalian bertiga harus dateng ke ultah sweetku!” kata Marlene sambil membagikan undangan sweetnya. Marlene adalah kakak dari Klara.
“Aku nggak, Kak?” tanya Klara.
“Ngapain kamu aku kasih undangan, heh? Pasti kamu dateng lah!” jawab Marlene.
“Kapan Lin?” tanya Calvin.
“Sabtu depan. Bisa kan?” jawab Marlene. Yang lain mengangguk-angguk tanda setuju.
“Terutama kamu, Fi! Ada yang mau kenalan sama kamu,” kata Marlene lagi. Lalu ia pergi meninggalkan Fiona, Klara, Cheryl, dan Calvin yang terbengong-bengong.
“Ciyeh, Fio.... Ada fans nih!” goda Cheryl.
“Diem, ah!” protes Fiona.
“Nanti Evan ada saingannya tuh!” tambah Calvin.
“Udah, udah. Kasian tuh Fiona ngambek,” lerai Klara.

Pukul 05.30, Sabtu...
“Cher, aku kurang apa?” tanya Fiona pada Cheryl yang saat ini ada di rumahnya untuk berangkat bersama ke sweet Marlene.
“Kurang cantik,” jawab Cheryl sekenanya. Cheryl sedang sibuk mengkriting rambutnya sehingga ia tidak melihat Fiona.
“Cheryl ih! Serius tau!” pukul Fiona pada bahu Cheryl.
“Bentar, aku lagi curly. Diem dulu!” perintah Cheryl.
“Iya, iya!” akhirnya Fiona hanya bisa diam sambil bermain BB nya, membalas semua BBM yang masuk.
“Fi, berangkat yuk! Astaga, kamu cantik banget, Fi!” seru Cheryl begitu melihat Fiona. Fiona terbalut dalam gaun kemben pendek berwarna merah muda dan ada aksesoris pita hitam di belakang gaunnya. Heels senada yang digunakannya semakin menunjukkan bahwa ia sedang tumbuh dewasa. Rambut panjangnya dihiasi dengan kepangan yang dibuat bando. Make up yang soft dan natural membuatnya terlihat lebih segar.
“Makasih, Cher! You look so elegant, too. Ayo berangkat!” puji Fiona. Lain Fiona, lain Cheryl. Gadis bermata sipit itu mengganti kacamata beningnya dengan softlens coklat. Berbalut gaun turtleneck coklat putih selutut, Cheryl memakai wedges warna kulit. Rambut yang ia curly, diberi aksesoris bando berpita hitam. Make up yang dewasa, nampak pada wajahnya.
Kedua gadis yang sudah siap “perang” itu segera masuk ke Innova abu-abu milik Fiona. Diantar sopir Fiona mereka berdua melaju ke Linds Papandayan.

“Waw, Fi. Aku belum pernah lihat tempat seindah ini!” seru Cheryl kagum. Pemandangan lantai satu dari restoran itu sangat mengejutkan. Bulan Desember ini, ruangan di lantai satu didesain sedemikian rupa supaya menggambarkan suasana natal. Dua pohon yang berhias lampu-lampu hijau dan merah, terlihat menakjubkan. Setiap meja memiliki lilin yang menyala, menambah kesan romantis pada tempat ini. Piring-piring porselen menghiasi dinding di atas kasir, bahkan ada 2 tumpuk ban mobil yang atasnya diberi kaca sebagai meja. Uniknya semua desain mewah yang ada pada tempat ini malah menunjukkan suasana jaman dahulu.
“Permisi, sweet seventeen Marlene?” tanya Fiona pada pelayan yang ada di situ.
“Langsung naik lift ke lantai 3 ya!” jawab pelayan itu.
“Makasih.”
“Fi! Ini lift nya? Ya ampun, keren banget, didesain kayak gua gini,” komentar Cheryl saat mereka berdua sudah ada di dalam lift berpintu putih.
“Udah ah, Cher. Diem, malu-maluin kamu komentar mulu,” kata Fiona.
“Habis gimana, indah banget gini tempatnya,” kata Cheryl.
Ting! Pintu lift terbuka. Cheryl benar-benar merasa kagum di lantai 3 ini. Standing party yang diadakan Marlene benar-benar memilih tempat yang tepat. Lantai 3 ini didesain balkon yang berhias lampion-lampion merah di atapnya. Angin semilir berhembus dengan lembut membuat Cheryl benar-benar terlena. Sangat indah, batinnya. Cheryl memang ingin menjadi penata ruang ketika besar nanti, maka dari itu, ia sangat terkagum-kagum pada pendesain ruangan ini.
“Marlene, happy birthday!” seru Fiona sambil memeluk Marlene.
“Happy birthday, Sayang!” gantian Cheryl yang memeluk Marlene.
“Terimakasih, teman-teman. Hei, mana Calvin?” tanya Marlene.
“Dia sedang di dalam lift katanya,” jawab Cheryl sambil memencet-mencet BB Onyx 2 nya. Tidak sampai satu menit, Calvin keluar dari lift dan langsung menuju ke arah Marlene sambil tersenyum lebar.
“Happy birthday, Girls! You look so gorgeous this night,” kata Calvin sambil menyalami Marlene.
“Thanks, Man. You, too,” jawab Marlene.
“Kak, ini ada kado dari kami berempat. Hope you like it,” kata Klara yang tadi menghilang untuk mengambil kado besar yang ia sembunyikan.
“Ohh, thanks! Aku ke sana dulu, ya teman! Fi, ikut aku!” pamit Marlene sambil mengandeng Fiona menghampiri seorang cowok tinggi yang berkulit sawo matang.
“Marco, ini Fiona. Fi, kenalin sepupu aku, Marco,” kata Marlene memperkenalkan keduanya.
“Fiona.”
“Marco.”
“Oh ada Silvia! Aku ke sana dulu ya, teman!” kata Marlene sambil mengedipkan matanya ke arah Marco.
“Jadi, kamu Fiona?” tanya Marco.
“Iya. Dan kamu adalah orang yang ingin berkenalan denganku?” tanya Fiona balik.
“Haha! Kau benar. Kelas berapa?” tanya Marco ingin tahu.
“Baru kelas 10. Kamu sendiri?”
“Kelas 12. Seangkatan sama Marlene.”
Obrolan-obrolan kecil antara Fiona dan Marco semakin mendalam. Tak ada yang sadar, ada ketiga pasang mata yang sedang mengamati mereka berdua. Ketiga pemilik mata yang berdiri di pinggir balkon ini tampak senang melihat Fiona akrab dengan sepupu Marlene dan Klara. Menurut mereka, Marco jauh lebih baik daripada Evan yang suka memanfaatkan harta cewek yang disukainya.

“Fi, siapa tuh tadi yang ngomong-ngomong mulu sama kamu sampai kita nggak punya quality time?” tanya Cheryl pura-pura tidak tau saat perjalanan pulang. Ia hanya ingin mendengar komentar jujur dari Fiona.
“Marco, sepupu Klara sama Marlene. Marco asik sih orangnya, jadi bisa nyambung terus gitu,” jawab Fiona sambil mengingat-ingat percakapannya dengan Marco tadi.
“So, pick one, Evan or Marco?” tanya Cheryl to the point.
“Yee, nggak bisa gitu dong, Cher! Beda dong mereka berdua,” jawab Fiona sambil menoyor kepala Cheryl.
“Lho beda apanya? Kan sama-sama cowok,” tanya Cheryl sambil tertawa. Akhirnya mereka malah tertawa bersama selama beberapa saat.
“Cher, dengerin ya! Evan itu ganteng, pinter, atletis. Tapi Marco? Iya tinggi, tapi nggak ganteng, sayang,” jelas Fiona setelah mengakhiri tawanya.
“Lho, kalo jelek kenapa? Kan nyari cowok, nggak harus lewat fisiknya,” tanya Cheryl.
“Bukan jelek, nggak ganteng!” cewek ini suka sekali ketepatan. “Actually he’s kind, but I don’t have feel like I have feel to Evan. Tau lah maksudku.”
“Tau nggak, Fi istilah witing tresna jalaran saka kulina?” tanya Cheryl.
“Cinta datang karena terbiasa? Tau, Cher. Tapi aku nggak pernah percaya istilah itu,” jawab Fiona.
“Yah, belum ngerasain sih!” kata Cheryl.
“Ciee Cheryl! Jangan-jangan kamu lagi...,” kata Fiona yang langsung mendapat pukulan keras di pahanya.
“Ihh Fio! Kan kita ngomongin kamu tadi. Kenapa sampe aku?” pukul Cheryl lebih keras. Yang dipukul hanya bisa tertawa dan mengaduh-aduh.

“Fi, menurutmu, Marco itu gimana?” tanya Klara suatu hari saat mereka berdua benar-benar menjadi sepasang makhluk yang tersisa di kelas. Ketigapuluh anak yang lain sedang menikmati istirahat dua puluh menit yang sangat berharga itu.
“Marco? Baik, asik, care,” jawab Fiona.
“Aku pengen ngomong, tapi kamu kudu ndengerin, nggak boleh mutus, dan nggak boleh marah,” kata Klara.
“Apaan, Kla?” tanya Fiona.
“Kamu nyadar nggak? Selama kamu pedekate sama Evan, kamu sering kehabisan uang jajan?” tanya Klara.
“Nggak. Emang dari dulu uang jajanku ngepas gitu kok,” jawab Fiona.
“Siapa bilang? Dulu kamu selalu bayar uang kas kelas tepat waktu. Sekarang selalu ngulur-ngulur dengan alasan nggak punya uang. Trus berapa banyak makanan yang kamu udah beliin buat Evan? Apa kamu nggak sadar kalo Evan cuma manfaatin uangmu? Nggak, Fi, dengerin dulu,” kata Klara saat melihat gelagat Fiona yang hendak memotong omongannya. “Aku tau Evan itu ganteng, pinter, tinggi, pemain basket. Tapi apa gunanya  semua itu kalo dia cuma mau manfaatin kamu aja? Kamu yang rugi!”
“Kla, kamu salah! Evan nggak kayak gitu. Dia baik, dia suka ngebantu aku kalo aku nggak bisa di pelajaran, dia ngajarin banyak hal ke aku!” protes Fiona.
“Jatuh cinta emang buta, Fi. Kamu cuma bisa membanggakan dia tanpa ngeliat sisi negatifnya. Coba kamu lihat, Kak Marco selalu ada nungguin kamu, dengerin setiap cerita kamu,” kata Klara mencoba menyadarkan Fiona.
“Kamu nggak ngerti Kla, gimana rasanya bahagia saat aku merasakan ada seseorang yang ngerti aku lebih dari siapapun! Udah, ini masalah cintaku. Urusin diri kamu sendiri yang katanya suka sama Theo tapi sampe sekarang nggak pernah bisa jadian! Dan tolong jangan sangkutin Marco, karena aku tau, kamu sebagai sepupunya tak mungkin tidak memihak dia!” bentak Fiona lalu ia meninggalkan kelas. Klara hanya bisa terdiam mengetahui kelakuan temannya. Ia merasa bersalah, tapi tak bisa apa-apa.
“Kla, how?” tanya Calvin ketika Calvin dan Cheryl sudah kembali ke kelas.
“Nothing. Fio malah marah sama aku,” jawab Klara.
“Yah, biarin aja lah. Nanti juga lupa sendiri. Lagian dia dikasih tau bandel gitu,” kata Cheryl menenangkan.

“Halo? Fio? Ada apa?” tanya Marco sedikit terkejut mendapati BB nya mendapat telepon masuk dari Fiona.
“Co... hiks.... Resto Papi, Co...,” jawab Fiona tesendat-sendat dan tidak menyelesaikan kalimatnya.
“Kamu posisi di mana sekarang?” tanya Marco sigap.
“Di rumah,” jawab Fiona.
“Oke, aku ke sana sekarang!”

“Kita mau ke mana, Co?” tanya Fiona ketika Marco memberikan helm padanya.
“Ke suatu tempat. You will see later,” jawab Marco penuh misteri. Fiona hanya mengangkat bahu. Ternyata Marco membawanya ke tempat awal mereka bertemu. Suasana sejuk merayapi tubuh Fiona yang berjaket dan bercelana pendek. Sambil merapatkan jaketnya, Fiona masuk ke dalam pintu masuk. Disambut oleh dua pohon berlampu hijau dan merah. Pilihan yang tepat, pikir Fiona sedikit tersenyum. Ia menyukai tempat yang begitu manis ini. Memasuki pintu lift putih yang manis, mereka menuju lantai 3 yang romantis.
“Co, maaf ngerepotin. Di tempat ini jadi tenang banget. Kamu tau banget ya kalo aku suka ke sini,” kata Fiona membuka percakapan setelah memesan makanan.
“Nggak papa, Fi. Santai aja,” kata Marco sambil tersenyum.
“Aku juga nggak tau kenapa kepikiran buat telepon kamu tadi. Aku sama Klara lagi musuhan soalnya, jadi yah aku nggak bisa cerita ke dia. Tanganku usil menelusuri kontak dan memencet tombol hijau pada namamu,” kata Fiona memulai ceritanya.
“Lanjut aja, Fi. Kamu boleh cerita apapun padaku,” kata Marco kembali tersenyum. Senyum hangat yang menguatkan dan menghibur.
“Resto Papi yang ada di Semawis kebakaran, Co. Papi memulai membuka Resto ini udah 4 tahun yang lalu sejak beliau di PHK. Dengan gigih, Papi membangun Resto dari nol, Co. Usaha Papi mulai membuahkan hasil di awal tahun ini. Tapi, cobaan datang dan Resto Papi kini habis sama sekali,” cerita Fiona dengan mata yang berkaca-kaca.
“Fi, setiap orang pasti pernah mendapat masalah. Ada yang besar ada yang kecil. Tapi di setiap masalah itu, pasti Tuhan ingin mendekatkan umatNya supaya lebih dekat lagi dan tidak melupakanNya,” kata Marco menghibur Fiona.
“Kadang aku juga berpikir di setiap masalah pasti ada hikmahnya. Tapi aku ngerasa masalah kali ini berat banget. Aku pernah berpikir, jangan-jangan Tuhan itu nggak ada. Dia ngijinin cobaan segini berat terjadi dalam hidupku. Dia nggak bantuin aku supaya cobaan ini nggak datang ke aku,” kata Fiona putus asa.
“Nggak boleh gitu dong, Fi. Kamu cuma nggak bisa menebak jalan pikiran Tuhan. Siapa tau, setelah ini, akan ada hal spektakuler. Just wait the time. All things are beautiful in His time. Tetep bersyukur, kamu masih bisa makan kan? Seenggaknya, pasti masih ada uang buat kehidupanmu selanjutnya,” kata Marco mencoba menguatkan.
“Iya ya? Makasih ya, Co udah buat aku sadar. Kalo nggak ada kamu, mungkin aku udah putus asa banget,” kata Fiona berterimakasih.
“Sama-sama. Kalo ada masalah, cerita lagi aja nggak papa. Glad to help you....”

“Fi, ya ampun. Ini kabar yang berat banget buat kamu. Tapi kamu harus terima kenyataan ini daripada kamu dibohongi,” Calvin tiba-tiba menelepon Fiona.
“Apaan sih?” tanya Fiona.
“Aku lagi mall, liat Evan jalan berdua sama Sharon anak 10 G,” jawab Calvin.
“Hah? Serius? Ini pasti akal-akalanmu lagi biar aku nggak pacaran sama dia kan?” tanya Fiona sinis.
“Beneran tau! Ini aku kirim fotonya.” Tidak sampai semenit kemudian, BB Torch Fiona berbunyi menandakan BBM masuk.
“Fi, kamu nggak papa kan?” tanya Calvin ketika Fiona nggak kedengeran lagi suaranya.
“Nggak, Vin. Aku nggak papa. Aku cuma pengen sendiri. Makasih atas infonya,” jawab Fiona.
“Kau tau, masih ada aku, Cheryl, dan Klara yang siap membantumu.”

PLAK!
“Jelasin ke aku, apa maksud foto ini!” perintah Fiona penuh amarah setelah sebelumnya ia menampar pipi Evan.
“Resto Papi kamu udah kebakaran kan? So, udah jelas kan kenapa aku jalan sama Sharon?” tanya Evan santai.
“Jadi selama ini, kamu cuma manfaatin uang aku gitu?” tanya Fiona sambil menggenggam tangannya karena jengkel.
“Kamu belum tau? Ya ampun Sayang, kamu polos banget sih? Kalo aku pacaran sama orang nggak punya, makan apa aku nanti?” tanya Evan balik. Fiona hanya bisa menggeram meninggalkan Evan yang terbahak-bahak.

“Udah lah, Fi. Kamu mau nangis sampe kapan?” hibur Klara. Sejak Fiona putus dengan Evan, orang kedua yang dihubunginya adalah Klara, untuk meminta maaf atas perbuatannya dulu. Orang pertama? Tentu saja Marco. Siapa lagi kalau bukan cowok besar penyabar itu?
“Iya, Fi. Nggak usah disesalin gitu lah. Harusnya kamu bersyukur gitu, harta kamu nggak terkuras lebih banyak gara-gara dia,” kata Cheryl.
“Tapi aku terlanjur cinta, Cher!” protes Fiona sambil mengambil tisu lagi.
“Vi, nggak baik ah nangis mulu. Jelek ntar!” kata Calvin.
“Kamu sama Calvin aja sana, Fi. Dia perhatian gitu kok!” saran Cheryl ngawur.
“Enak aja! Aku emang wedokan. Tapi ya jangan nyodorin seenaknya sendiri ke Fio gitu dong,” protes Calvin sambil memukul Cheryl. Dalam bahasa Jawa, wedokan berarti deket sama cewek-cewek. Bukan ganjen, tapi emang seperti itulah Calvin.
Lain ketiga sahabatnya, lain lagi Marco. Mereka sama-sama berusaha ngehibur sih, tapi beda caranya. Kalau bersama ketiga sahabatnya, akhirnya mereka hanya bercanda. Tapi kalau dengan Marco, mereka berdua bisa melihat masa depan. Mungkin inikah yang disebut dengan ‘witing tresna jalaran saka kulina’ yang dibilang Cheryl waktu itu? Yang pasti, Fiona merasa nyaman bersama Marco.

Malam berikutnya Marco mengajak Fiona candlelight. Mereka berdua memilih tempat di Linds Papandayan, tempat favorit keduanya.
"Fi , ada yang mau aku omongin," kata marco sambil memegang kedua tangan Fiona yang duduk di depannya. Seketika itu juga Fiona kaget dan menatap mata Marco.
"Sebenarnya aku suka kamu dari pertama kita bertemu. Dari pertama aku ngliat kamu aku langsung merasakan di hatiku ada yang berbeda. Aku nyaman bersamamu, Fi. Aku sayang kamu. Bagaimana perasaanmu?" ungkap Marco.
"Aku nggak tau, Co sebenarnya tentang perasaanku. Tapi setelah sekian lama ini kita jalan aku ngerasa hatiku juga ada yang berbeda. Aku juga mulai bisa nyaman sama kamu. Mulai bisa menyesuaikan diri sama kamu. " jawab Fiona jujur.
"Aku mau tanya seusatu. Kamu mau jadi pacarku kan Fi ?" tanya Marco ragu.
Fiona pun masih bingung akan perasaannya, tapi di hati kecilnya berkata ia pasti bisa mencintai Marco.
"Ya Co , aku mau jadi pacarmu," jawab Fiona malu-malu.
Hati Marco pun bahagia dan hari itu juga mereka resmi pacaran. Fiona belajar mencintai Marco bukan karna fisik dan harta melainkan dari hati. Cintailah seseorang bukan karena dari fisik dan harta, tapi lihatlah dari hatinya.

Atas Dasar Cinta


“Kelompok 18? Ayo semua ke sini,” ajak seorang lelaki berkacamata putih.
“Nah, di sini, ayo duduk. Kita bentuk lingkaran,” ajak seorang gadis tinggi berkawat gigi dan berambur panjang yang kelihatan sangat cantik.
“Perkenalan dulu ya. Aku Rio. Kalian bisa panggil aku Kak Rio. Ini Justice, Kak Justice,” lelaki berkacamata putih tadi memperkenalkan dirinya.
“Nah, kami di sini berperan sebagai pembimbing kalian. Kalau ada apa-apa, tanyakan saja pada kami. Sekarang kalian perkenalan dulu satu-satu ya! Sebut nama panggilan sama asal sekolah dan kota. Dimulai dari kamu,” kata Justice sambil menunjuk seorang gadis berkacamata yang duduk di sebelahnya.
“Sasa, YSKI, Semarang,” kata gadis berkacamata tadi.
“Lanjut ke sebelahnya,” kata Rio.
“Belinda, Domsav, Semarang,” kata seorang gadis manis.
“Sella, Domsav, Semarang,” kata seorang gadis berambut keriting.
“Givon, Domsav, Semarang,” kata seorang lelaki yang tampan.
 “Ariel, Domsav, Semarang,” kata seorang lelaki berkacamata dan berkulit hitam.
“Farell, Pius Pekalongan, Pekalongan,” kata seorang lelaki yang sedikit gemuk.
 “Vannya, Stece, Jogja,” kata seorang gadis mungil berkulit putih yang sangat cantik.
“Dion, Domsav, Semarang,” kata seorang lelaki berjerawat banyak.
“Nah, kalian punya tugas untuk mencatat atribut apa saja yang perlu dibawa besok Senin. Bagi kelompok aja ya. Ini kan ceweknya 4, cowoknya 4. Dibuat cewek cowok aja biar tambah akrab,” kata Rio.
“Ini pos-posnya,” Justice menunjukkan catatannya pada kedelapan anak kelompok 18 itu.
“Catat selengkap mungkin. Jangan sampai di hari pertama POPSILA nanti, kalian salah atribut. Eh, kalian sudah tau belum singkatannya POPSILA?” tanya Rio.
“Pekan Orientasi dan Pengenalan Siswa Kolose Loyola. Aku dikasih tau kakakku,” jawab Ariel.
“Pinter! So, diinget-inget yah teman. Jangan sampai kalian nggak tau singkatannya. Sudah sana, segera menuju pos. Cowok cewek ya!” kata Rio.
“Sasa? Sama aku yuk!” ajak Givon tiba-tiba.
“Oke!” jawab Sasa sambil tersenyum.
“Kamu kelas apa, Sa?” tanya Givon.
“Sepuluh A. Kamu?” tanya Sasa balik.
“Lho? Sama, aku juga 10 A! Wah, lumayan ya, ada temen sekelas di satu kelompok, jadi aku nggak kagok,” jawab Givon.
“Kamu kan dari Domsav, Von. Banyak temennya gitu?” tanya Sasa heran.
“Hehehe... iya sih, tapi kan mereka pada nggak satu kelas, jadi yah nggak enak lah. Kamu sendiri, dari YSKI berapa orang?” tanya Givon.
“Aku satu-satunya yang dari YSKI ini,” jawab Sasa.
“Masa? Wah hebat dong!” puji Givon.
Nggak butuh waktu lama, Sasa dan Givon udah kaya temen lama. Memang dasarnya Sasa itu supel dan Givon juga menyenangkan, jadi makin mudah untuk akrab. Di hari Senin, ketika masuk ke kelas, Sasa sama Givon udah cerewet sendiri sampai ditegur guru. Masing-masing merasakan suatu kenyamanan tersendiri ketika mereka selalu bersama.

“Lho? Sasa? Kamu nggak pulang?” tanya Givon suatu hari ketika Givon selesai ekstra dan menemukan Sasa masih ada di depan gedung Markus sambil mainin laptopnya.
“Belum ada yang jemput, Von. Papi bisanya jemput jam 5. Aku nggak boleh naik angkot sendirian,” jawab Sasa.
“Oalah. Kamu rumahnya mana sih?” tanya Givon.
“Daerah Plamongan kok,” jawab Sasa.
“Hah? Plamongan? Pulang bareng aku aja yuk! Rumahku juga di Plamongan. Ini mau naik bis,” ajak Givon.
“Oh ya? Ayo deh, kalo ada temennya gini, pasti Papi bolehin deh!” kata Sasa sambil memencet-mencet IPhone 4s nya dan menelepon Papinya. Givon hanya tersenyum melihat Sasa begitu bersemangat karena bisa pulang. Sejak hari itu, Givon dan Sasa selalu pulang bersama setiap hari.

“KKL Kelas 10, segera ke Kapel sekarang juga! Kita ada misa angkatan,” suara speaker di seluruh sekolah berbunyi ketika istirahat ketiga dimulai. KKL adalah singkatan dari Keluarga Kolose Loyola.
“Sa, ke Kapel yuk!” ajak Givon.
“Maaf, Von. Kamu duluan aja. Aku masih ada perlu sama Selli,” jawab Sasa.
“Oh, yaudah. Duluan ya!” kata Givon.
“Hei, Von. Mau ke Kapel? Sama aku yuk!” ajak Eric dan teman-temannya, anak kelas 11 yang terkenal banget karena bandnya yang terus menjuarai lomba-lomba. Sasa hanya bisa menggumam karena kagum dengan kepopuleran Givon. Belum satu bulan mereka masuk SMA, Givon sudah terdaftar sebagai calon drummer LAB (Loyola Acoustic Band).
Sasa nggak pernah masuk ke Kapel sebelumnya. Maklum, Sasa kan agamanya Kristen, jadi dia selalu berada di gereja-gereja Kristen. Begitu melihat Kapel, Sasa langsung terkagum-kagum. Diikuti Selli di sebelahnya, Sasa mulai jadi kepo, bertanya ini itu pada Selli.
“Sel, orang Katolik kalau masuk ke Kapel, selalu buat tanda Salib dulu pake air yang ada di sebelah pintu masuk ya? Itu air apaan?” tanya Sasa.
“Itu namanya air biasa yang udah diberkati, Say. Maksudnya biar kita suci dulu. Kan kita mau masuk ke rumah Tuhan,” jawab Selli.
“Ohh, trus kalo mau duduk harus buat tanda salib dulu ya?” tanya Sasa lagi.
“Iya. Sebagai salam hormat sama Tuhan. Kita sebagai tamu Tuhan, nggak baik kan kalo tiba-tiba langsung duduk gitu?” jawab Selli. Selli memang maklum banget sama Sasa, temannya yang cerewet ini.
“Trus, kok disebut Kapel kenapa?” tanya Sasa.
“Karena lebih kecil dari Gereja, Sa. Kalo gede dan berada di bawah sebuah paroki, itu gereja. Eh itu Pater udah dateng. Kamu ikut prosesinya ya. Ikuti aja pelan-pelan. Nanti waktu terima komuni nggak usah maju, kamu belum baptis Katolik soalnya,” kata Selli.
“Komuni itu apa?” tanya Sasa dengan suara berbisik.
“Itu, yang makan hosti, setauku kalo di Kristen itu perjamuan suci gitu,” jawab Selli. Sasa hanya membuat huruf O di mulutnya tanpa suara. Sasa mengikuti misa hari itu dengan berusaha sesopan mungkin. Selesai misa, ia mencoba mencari Givon karena mereka akan pulang bersama seperti biasa.
“Givon! Pulang yuk!” ajak Sasa ketika menemukan Givon yang sedang mengobrol dengan ketua DKKL (Dewan Keluarga Kolose Loyola, sejenis OSIS di Loyola). “Eh, ada Evan.”
“Hai, kamu pasti temen Givon yang namanya Sasa,” tebak Evan.
“Eh, kok tau?” tanya Sasa.
“Givon sering banget cerita tentang kamu. Von, gitu aja dulu ya, nanti kalo ada perkembangan, kasi kabar ke aku, oke?” kata Evan.
“Oke, siap Bos! Aku pulang dulu deh ya!” pamit Givon.
“Dadah, Van!” pamit Sasa.
“Kamu ada proyek apa sama Evan?” tanya Sasa.
“Rahasia. Nggak semua orang boleh tau,” jawab Givon.
“Ih, pelit! Kan biasanya kamu selalu cerita semuanya sama aku,” Sasa pura-pura marah.
“Biarin,” jawab Givon singkat.
“Von, pulang langsung kan? Kamu nggak mau mampir liat anak-anak LAB latihan?” tanya Sasa lagi.
“Nggak,” jawab Givon yang lagi-lagi singkat. Sasa hanya bisa mengangkat bahu melihat perubahan sikap Givon. Ingin ia bertanya, tapi ia tidak ingin mencampuri urusan pribadi Givon. Tapi, rasa penasaran terus berkecamuk di hatinya. Sasa adalah tipe orang yang blak-blakan sehingga akhirnya, ia bertanya juga.
“Von, kamu lagi badmood? Ato lagi marah sama aku? Kok jawabnya nggak enak gitu?” tanya Sasa.
“Kamu mau jawaban jujur apa nggak?” tanya Givon balik.
“Jelas jawaban jujur lah!” jawab Sasa semakin penasaran.
“Agamamu apa?” tanya Givon langsung. Deg! Kenapa jadi masalahin agama gini? Batin Sasa.
“Kristen. Kenapa?” tanya Sasa balik.
“Tuh kan! Pantes tadi waktu komuni kamu nggak maju! Kamu... jahat banget nggak pernah kasi tau aku agamamu selama ini!” protes Givon.
“Lho? Emang harus yah aku kasi tau kamu agamaku? Apakah kamu serendah ini sampai memandang agama sebagai batas pergaulan?” tanya Sasa tajam.
“Kalau hanya pergaulan, aku nggak pernah masalahin perbedaan agama. Tapi kalau sampai menyentuh cinta? Lain ceritanya!” jawab Givon ketus dan meninggalkan Sasa sendirian di gerbang sekolah. Sasa hanya bisa termenung. Cinta? Sedalam itukah perasaan Givon padanya?

Esok harinya, Sasa mencoba mendekati Givon. Tapi yang didekati, sepertinya tahu apa tujuan Sasa dan sengaja menjauh. Keesokkan harinya masih sama. Lusa tetap sama. Seminggu berlalu dan semua usaha Sasa sia-sia. Berada jauh dari Givon membuat Sasa kehilangan kenyamanannya. Selama ini, Sasa sudah terlalu bergantung pada keberadaan Givon di sisinya.
Hingga sebulan berlalu, usaha Sasa masih tetap tak menghasilkan apa-apa. Malah ada suatu kabar yang mengejutkan Sasa. Givon katanya baru saja pacaran dengan Julia, cewek kelas 11 yang paling populer di sekolah. Betapa bodohnya ia terus mengejar Givon hingga saat ini, batin Sasa. Biarkan lelaki itu tenggelam dalam euforia kebahagiaannya sendiri.

Minggu pagi, Kapel di Loyola sudah penuh dengan anak-anak 10 A berseragam batik. Hari ini kelas 10 A mendapat jatah paduan suara di Kapel Loyola. Menaiki balkon lantai 2 tempat paduan suara, anak-anak 10 A mulai menempatkan diri. Suasana balkon ramai oleh bisik-bisik anak 10 A yang gugup. Tentu saja, ini kali pertama mereka melayani di misa umum.

Selesai pelayanan paduan suara di Kapel Loyola, anak-anak 10 A dan para umat yang beribadah mulai pulang. Tinggalah Sasa yang duduk sendirian di kursi dalam kapel. Orangtuanya baru bisa menjemput jam 9, sedangkan misa selesai jam 8. Sambil menunggu, Sasa mulai melihat-lihat isi Kapel tersebut. Sejak pertama kali masuk ke Kapel ini, Sasa langsung suka tempat ini. Ia merasa ada semacam ada kekuatan magis yang menariknya untuk lebih mengetahui tempat ini. Berbeda dengan gerejanya, Kapel kecil ini memiliki aura tenang dan suci yang mendalam. Mimbar yang ditata sedemikian rupa sehingga terlihat indah, kursi umat yang dicat coklat dan ditata rapi, dekorasi bunga-bunga yang ada di seluruh gedung ini, balkon paduan suara yang misterius, jendela tinggi yang kuno dan menyimpan misteri, dan...
“Anak paduan suara tadi ya?” tiba-tiba seorang laki-laki tinggi berbadan tegap membuyarkan lamunan Sasa. Ia duduk di sebelah Sasa dan memandang wajah Sasa, menunggu jawaban. Deg! Wajah laki-laki keturunan Cina itu sangat manis apalagi ketika sedang tersenyum.
“Iya. Kok tau?” tanya Sasa balik.
“Tuh, batikmu,” tunjuk laki-laki itu sambil tertawa. “Hai, aku Kevin.”
“Sasa,” kata Sasa sambil membalas jabat tangan laki-laki di hadapannya.
“Kelas 10 ya?” tanya Kevin.
“Iya. Baru sekali ini pelayanan di sini,” jawab Sasa.
“Oh, pasti bukan Katolik ya?” tanya Kevin lagi.
“Iya, aku Kristen,” jawab Sasa.
“Aku nggak lihat kamu ambil komuni tadi. Makanya aku tau,” kata Kevin menjelaskan.
“Hei! Kau mengamatiku?” tanya Sasa sambil memicingkan matanya.
“Kau tak tau? Aku tugas misdinar tadi dan aku tidak melihatmu mengambil komuni,” jawab Kevin.
“Yah, intinya kau memperhatikan aku,” kata Sasa.
“Terserah apapun katamu. By the way, kamu nggak pulang, Sa?” tanya Kevin.
“Papi baru bisa jemput jam 9. Sekalian ke gerejaku,” jawab Sasa.
“Lho, kamu ke gereja lagi? Hem... gimana kalo kamu ikut aku aja?” tanya Kevin.
“Harusnya sih iya. Soalnya nggak ada yang nganter juga ini sampe ke rumahku,” jawab Sasa. “Ikut kamu ke mana?”
“Jalan-jalan. Aku pengen kenal kamu lebih deket,” ajak Kevin. Satu kalimat sederhana yang sempat membuat Sasa menjadi deg-degan.
Hubungan Sasa dan Kevin semakin merekat dari hari ke hari. Tinggal menunggu saat yang tepat saja untuk mempersatukan mereka. Perbedaan agama nggak menghalangi Kevin yang mencintai Sasa. Kedewasaan Kevin, menyebabkan Sasa mudah dekat dengan Kevin. Perasaan cemburunya ketika berhadapan dengan Givon yang mengumbar-umbar kemesraannya dengan Julia, menguap seketika setelah ia mengenal Kevin.

“Von?” panggil Julia menyenggol perut Givon.
“Eh iya, Beb? Kenapa?” tanya Givon.
“Aku ngomong panjang lebar kamu nggak ndengerin sama sekali ya?” tanya Julia jengkel.
“Kamu ngomong apa Say? Maaf, aku lagi nggak konsen gini,” jawab Givon.
“Ahh nggak tau, aku mau pulang aja!” kata Julia pura-pura marah untuk merayu Givon.
“Jangan pulang dulu, Sayang!” panggil Givon sambil memeluk Julia. “Duduk dulu, aku janji perhatiin kamu. Habisin dulu gih, makanannya.”

Di kursi lain...
“Gimana nilaimu di Loyola?” tanya Kevin pada Sasa. Yang ditanya malah tidak menjawab, tapi memandang ke suatu arah dengan tatapan jijik.
“Sa...,” panggil Kevin.
“Eh, iya ya, Vin. Kenapa?” tanya Sasa.
“Lagi nglamunin apa? Masalah cowok?” tanya Kevin balik.
“Hah? Bukan kok. Anu... masalah tugasku yang belum selesai,” jawab Sasa sedikit berbohong.
“Kirain masalah cowok. Udah punya cowok kamu, Sa?” tanya Kevin.
“Hah? Belum kok,” jawab Sasa.
“Kalo gitu, aku boleh daftar nggak?” tembak Kevin langsung sambil memegang tangan Sasa. Tiba-tiba di pikiran Sasa malah terlintas wajah Givon, semua kebaikan Givon, semua kenyamanan yang ia rasakan bersama Givon. Ya, Sasa yakin ia kangen Givon. Tapi, melihat Givon yang memeluk Julia tadi, menyebabkan Sasa jadi ilfil.

Di kursi milik kedua pasangan yang habis berpelukan, saat yang sama...
“Jelasin ke aku, kamu tadi nglamunin apa?” todong Julia.
“Aku lagi... mmm... nglamunin... bandku! Ya, LAB!” jawab Givon kentara sekali bahwa ia berbohong.
“Kau pikir aku nggak tau kamu lagi bohong?” tanya Julia sinis.
“Aku nggak bohong, Sayang. LAB angkatanku lagi butuh singer,” jawab Givon.
“Ohh, lalu... kalau aku nggak salah lihat, yang duduk di sana itu Sasa, right? Dan sejak tadi, mengapa kamu terus memandang ke arah Sasa?” tanya Julia langsung.
“Hah? Kamu bercanda? Ngapain aku ngeliatin Sasa kalo di depanku ada cewekku yang paling cantik?” kata Givon mengelak.
“Dasar cowok bajingan!” PLAK! Julia menampar pipi Givon. “Udah mikirin cewek lain mulu, masih juga bohong! Kita putus!”

Di kursi yang satunya...
“Sa? Kamu mau nggak jadi pacar aku? Aku cinta kamu, Sa,” kata Kevin masih memegang tangan Sasa.
“Aku...,” ucapan Sasa terputus ketika ia mendengar dan melihat Julia menampar Givon. Otomatis Sasa langsung berlari menghampiri Givon. Kevin hanya bisa ternganga di tempat duduknya.
“Givon, are you allright? Sakit?” tanya Sasa pada Givon penuh nada kecemasan.
“Inikah cewek yang selalu kamu mimpikan dan kejar, Von?” tanya Julia memandang remeh Sasa. “Asal kau tau, Von! Aku seribu kali lebih baik dari cewek kampung ini!”
PLAK! Kali ini ganti Sasa yang menampar pipi Julia dengan seluruh emosinya.
“Heh, cewek jalang! Nggak usah ngomong sembarangan! Bibir tuh dijaga, jangan cuma buat French kiss sama cowok-cowok di diskotek!” seru Sasa kontan membuat Julia menegang.
“Jadi, Jul.... Selama kita pacaran, kamu juga melayani om-om di diskotek? Astaga, aku nggak pernah nyangka akan punya cewek jalang kayak kamu!” seru Givon. Julia langsung lari dari hadapan mereka karena takut rahasianya terbongkar lebih banyak.
“Kamu nggak papa kan, Von?” tanya Sasa,
“Kamu tau Julia ke diskotek dari mana, Sa?” tanya Givon tidak menjawab pertanyaan Sasa.
“Aku liat dia waktu itu lagi ciuman sama om-om di depan diskotek deket Indomart,” jawab Sasa.
“Ohh, pantes aja. Kadang-kadang Julia bisa bau rokok atau miras. Nggak jarang juga matanya sering kayak orang kurang tidur. Mungkin dia pulang pagi habis melayani om-om gitu,” kata Givon.
“Sasa,” panggil Kevin kalem.
“Kevin,” jawab Sasa kaget karena Kevin sudah ada di dekatnya.
“Jadi, kamu Givon, cowok yang sering banget diceritain Sasa?” tanya Kevin pada Givon.
“Kamu cerita apa aja, Sa?” tanya Givon pada Sasa. Yang ditanya malah langsung merah padam wajahnya.
“Udah, nggak usah dibahas!” kata Sasa malu.
“Oh ya, Sa.... Untuk yang tadi di meja, lupakan aja! Anggap aku nggak pernah ngomong gitu,” kata Kevin.
“Maaf ya, Vin. Aku nggak bisa jawab ‘iya’. Aku selama ini cuma nganggep kamu sebagai kakak aku. Jadi ya, you know what I mean,” kata Sasa sedikit merasa bersalah.
“Nggak papa kok. Eh, aku pulang dulu ya!” pamit Kevin. Sebelum pulang, Kevin membisikkan sesuatu pada Givon. “Dia cewek yang baik. Nggak masalah beda agama, Tuhannya kan sama aja. Jangan jadikan agama sebagai penghalang cinta, ya! Bahagiakan dia, Bro!”
“Sa....”
“Ya?”
“Maaf ya, aku ninggalin kamu waktu itu. Aku cuma ngak mau aja, kita menjalin cinta beda agama gini. Dari dulu, aku pantang banget pacaran sama orang yang beda agama. Tapi, setelah aku pacaran dengan Julia, entah kenapa aku merasa aku semakin menyayangimu tiap harinya. Ketika tau kamu dekat dengan Kevin, api cemburu langsung membakar hatiku,” jelas Givon panjang lebar.
“Von... kamu nggak tau betapa sakitnya aku waktu tau kamu memilih meninggalkan aku hanya karena beda agama?” tanya Sasa.
“Aku tau. Makanya aku minta maaf. Nggak cuma kamu yang menderita, aku pun merasakannya,” jawab Givon. “So, would you try to walk with me, Sa?”
“Von, ini nggak terlalu cepat?” tanya Sasa.
“Terlalu cepat gimana?” tanya Givon balik.
“Setelah semua peristiwa ini, aku hanya merasa...,” jawab Sasa tidak melanjutkan kalimatnya.
“Aku tau, tapi, aku terlanjur cinta padamu dan aku nggak bisa nglepasin kamu lagi,” kata Givon.
“Ajak aku ke Kapel Loyola dulu. Aku mau ketemu Tuhan dulu,” kata Sasa.
“Baiklah!”

Sasa memasuki Kapel dan duduk di salah satu bangku panjang di Kapel. Selalu saja ada sebuah kesejukkan memenuhi hatinya ketika ia ada di Kapel ini. Setelah berdoa sejenak dan mengamati Mimbar yang indah, dekorasi bunga-bunga yang menyejukkan, jendela penuh misteri, Sasa keluar dari Kapel dan menemui Givon.
“Von... aku sudah bisa berpikir jernih sekarang,” kata Sasa.
“So, jawabannya?” tanya Givon.
“Aku mau berjalan bersamamu di masa depanku,” jawab Sasa sambil memeluk Givon dengan erat.
Angin mendesis perlahan menerbangkan rambut Sasa, menelusup pintu Kapel, dan mengganti setiap udara yang ada di Kapel....