“Kelompok
18? Ayo semua ke sini,” ajak seorang lelaki berkacamata putih.
“Nah,
di sini, ayo duduk. Kita bentuk lingkaran,” ajak seorang gadis tinggi berkawat
gigi dan berambur panjang yang kelihatan sangat cantik.
“Perkenalan
dulu ya. Aku Rio. Kalian bisa panggil aku Kak Rio. Ini Justice, Kak Justice,”
lelaki berkacamata putih tadi memperkenalkan dirinya.
“Nah,
kami di sini berperan sebagai pembimbing kalian. Kalau ada apa-apa, tanyakan
saja pada kami. Sekarang kalian perkenalan dulu satu-satu ya! Sebut nama
panggilan sama asal sekolah dan kota. Dimulai dari kamu,” kata Justice sambil
menunjuk seorang gadis berkacamata yang duduk di sebelahnya.
“Sasa,
YSKI, Semarang,” kata gadis berkacamata tadi.
“Lanjut
ke sebelahnya,” kata Rio.
“Belinda,
Domsav, Semarang,” kata seorang gadis manis.
“Sella,
Domsav, Semarang,” kata seorang gadis berambut keriting.
“Givon,
Domsav, Semarang,” kata seorang lelaki yang tampan.
“Ariel, Domsav, Semarang,” kata seorang lelaki
berkacamata dan berkulit hitam.
“Farell,
Pius Pekalongan, Pekalongan,” kata seorang lelaki yang sedikit gemuk.
“Vannya, Stece, Jogja,” kata seorang gadis
mungil berkulit putih yang sangat cantik.
“Dion,
Domsav, Semarang,” kata seorang lelaki berjerawat banyak.
“Nah,
kalian punya tugas untuk mencatat atribut apa saja yang perlu dibawa besok
Senin. Bagi kelompok aja ya. Ini kan ceweknya 4, cowoknya 4. Dibuat cewek cowok
aja biar tambah akrab,” kata Rio.
“Ini
pos-posnya,” Justice menunjukkan catatannya pada kedelapan anak kelompok 18
itu.
“Catat
selengkap mungkin. Jangan sampai di hari pertama POPSILA nanti, kalian salah
atribut. Eh, kalian sudah tau belum singkatannya POPSILA?” tanya Rio.
“Pekan
Orientasi dan Pengenalan Siswa Kolose Loyola. Aku dikasih tau kakakku,” jawab
Ariel.
“Pinter!
So, diinget-inget yah teman. Jangan sampai kalian nggak tau singkatannya. Sudah
sana, segera menuju pos. Cowok cewek ya!” kata Rio.
“Sasa?
Sama aku yuk!” ajak Givon tiba-tiba.
“Oke!”
jawab Sasa sambil tersenyum.
“Kamu
kelas apa, Sa?” tanya Givon.
“Sepuluh
A. Kamu?” tanya Sasa balik.
“Lho?
Sama, aku juga 10 A! Wah, lumayan ya, ada temen sekelas di satu kelompok, jadi
aku nggak kagok,” jawab Givon.
“Kamu
kan dari Domsav, Von. Banyak temennya gitu?” tanya Sasa heran.
“Hehehe...
iya sih, tapi kan mereka pada nggak satu kelas, jadi yah nggak enak lah. Kamu
sendiri, dari YSKI berapa orang?” tanya Givon.
“Aku
satu-satunya yang dari YSKI ini,” jawab Sasa.
“Masa?
Wah hebat dong!” puji Givon.
Nggak
butuh waktu lama, Sasa dan Givon udah kaya temen lama. Memang dasarnya Sasa itu
supel dan Givon juga menyenangkan, jadi makin mudah untuk akrab. Di hari Senin,
ketika masuk ke kelas, Sasa sama Givon udah cerewet sendiri sampai ditegur
guru. Masing-masing merasakan suatu kenyamanan tersendiri ketika mereka selalu
bersama.
“Lho?
Sasa? Kamu nggak pulang?” tanya Givon suatu hari ketika Givon selesai ekstra
dan menemukan Sasa masih ada di depan gedung Markus sambil mainin laptopnya.
“Belum
ada yang jemput, Von. Papi bisanya jemput jam 5. Aku nggak boleh naik angkot
sendirian,” jawab Sasa.
“Oalah.
Kamu rumahnya mana sih?” tanya Givon.
“Daerah
Plamongan kok,” jawab Sasa.
“Hah?
Plamongan? Pulang bareng aku aja yuk! Rumahku juga di Plamongan. Ini mau naik
bis,” ajak Givon.
“Oh
ya? Ayo deh, kalo ada temennya gini, pasti Papi bolehin deh!” kata Sasa sambil
memencet-mencet IPhone 4s nya dan menelepon Papinya. Givon hanya tersenyum
melihat Sasa begitu bersemangat karena bisa pulang. Sejak hari itu, Givon dan
Sasa selalu pulang bersama setiap hari.
“KKL
Kelas 10, segera ke Kapel sekarang juga! Kita ada misa angkatan,” suara speaker
di seluruh sekolah berbunyi ketika istirahat ketiga dimulai. KKL adalah
singkatan dari Keluarga Kolose Loyola.
“Sa,
ke Kapel yuk!” ajak Givon.
“Maaf,
Von. Kamu duluan aja. Aku masih ada perlu sama Selli,” jawab Sasa.
“Oh,
yaudah. Duluan ya!” kata Givon.
“Hei,
Von. Mau ke Kapel? Sama aku yuk!” ajak Eric dan teman-temannya, anak kelas 11
yang terkenal banget karena bandnya yang terus menjuarai lomba-lomba. Sasa
hanya bisa menggumam karena kagum dengan kepopuleran Givon. Belum satu bulan
mereka masuk SMA, Givon sudah terdaftar sebagai calon drummer LAB (Loyola
Acoustic Band).
Sasa
nggak pernah masuk ke Kapel sebelumnya. Maklum, Sasa kan agamanya Kristen, jadi
dia selalu berada di gereja-gereja Kristen. Begitu melihat Kapel, Sasa langsung
terkagum-kagum. Diikuti Selli di sebelahnya, Sasa mulai jadi kepo, bertanya ini
itu pada Selli.
“Sel,
orang Katolik kalau masuk ke Kapel, selalu buat tanda Salib dulu pake air yang
ada di sebelah pintu masuk ya? Itu air apaan?” tanya Sasa.
“Itu
namanya air biasa yang udah diberkati, Say. Maksudnya biar kita suci dulu. Kan
kita mau masuk ke rumah Tuhan,” jawab Selli.
“Ohh,
trus kalo mau duduk harus buat tanda salib dulu ya?” tanya Sasa lagi.
“Iya.
Sebagai salam hormat sama Tuhan. Kita sebagai tamu Tuhan, nggak baik kan kalo
tiba-tiba langsung duduk gitu?” jawab Selli. Selli memang maklum banget sama
Sasa, temannya yang cerewet ini.
“Trus,
kok disebut Kapel kenapa?” tanya Sasa.
“Karena
lebih kecil dari Gereja, Sa. Kalo gede dan berada di bawah sebuah paroki, itu
gereja. Eh itu Pater udah dateng. Kamu ikut prosesinya ya. Ikuti aja
pelan-pelan. Nanti waktu terima komuni nggak usah maju, kamu belum baptis
Katolik soalnya,” kata Selli.
“Komuni
itu apa?” tanya Sasa dengan suara berbisik.
“Itu,
yang makan hosti, setauku kalo di Kristen itu perjamuan suci gitu,” jawab
Selli. Sasa hanya membuat huruf O di mulutnya tanpa suara. Sasa mengikuti misa
hari itu dengan berusaha sesopan mungkin. Selesai misa, ia mencoba mencari
Givon karena mereka akan pulang bersama seperti biasa.
“Givon!
Pulang yuk!” ajak Sasa ketika menemukan Givon yang sedang mengobrol dengan
ketua DKKL (Dewan Keluarga Kolose Loyola, sejenis OSIS di Loyola). “Eh, ada Evan.”
“Hai,
kamu pasti temen Givon yang namanya Sasa,” tebak Evan.
“Eh,
kok tau?” tanya Sasa.
“Givon
sering banget cerita tentang kamu. Von, gitu aja dulu ya, nanti kalo ada
perkembangan, kasi kabar ke aku, oke?” kata Evan.
“Oke,
siap Bos! Aku pulang dulu deh ya!” pamit Givon.
“Dadah,
Van!” pamit Sasa.
“Kamu
ada proyek apa sama Evan?” tanya Sasa.
“Rahasia.
Nggak semua orang boleh tau,” jawab Givon.
“Ih,
pelit! Kan biasanya kamu selalu cerita semuanya sama aku,” Sasa pura-pura marah.
“Biarin,”
jawab Givon singkat.
“Von,
pulang langsung kan? Kamu nggak mau mampir liat anak-anak LAB latihan?” tanya
Sasa lagi.
“Nggak,”
jawab Givon yang lagi-lagi singkat. Sasa hanya bisa mengangkat bahu melihat
perubahan sikap Givon. Ingin ia bertanya, tapi ia tidak ingin mencampuri urusan
pribadi Givon. Tapi, rasa penasaran terus berkecamuk di hatinya. Sasa adalah
tipe orang yang blak-blakan sehingga akhirnya, ia bertanya juga.
“Von,
kamu lagi badmood? Ato lagi marah sama aku? Kok jawabnya nggak enak gitu?”
tanya Sasa.
“Kamu
mau jawaban jujur apa nggak?” tanya Givon balik.
“Jelas
jawaban jujur lah!” jawab Sasa semakin penasaran.
“Agamamu
apa?” tanya Givon langsung. Deg! Kenapa jadi masalahin agama gini? Batin Sasa.
“Kristen.
Kenapa?” tanya Sasa balik.
“Tuh
kan! Pantes tadi waktu komuni kamu nggak maju! Kamu... jahat banget nggak
pernah kasi tau aku agamamu selama ini!” protes Givon.
“Lho?
Emang harus yah aku kasi tau kamu agamaku? Apakah kamu serendah ini sampai
memandang agama sebagai batas pergaulan?” tanya Sasa tajam.
“Kalau
hanya pergaulan, aku nggak pernah masalahin perbedaan agama. Tapi kalau sampai
menyentuh cinta? Lain ceritanya!” jawab Givon ketus dan meninggalkan Sasa
sendirian di gerbang sekolah. Sasa hanya bisa termenung. Cinta? Sedalam itukah
perasaan Givon padanya?
Esok
harinya, Sasa mencoba mendekati Givon. Tapi yang didekati, sepertinya tahu apa
tujuan Sasa dan sengaja menjauh. Keesokkan harinya masih sama. Lusa tetap sama.
Seminggu berlalu dan semua usaha Sasa sia-sia. Berada jauh dari Givon membuat
Sasa kehilangan kenyamanannya. Selama ini, Sasa sudah terlalu bergantung pada
keberadaan Givon di sisinya.
Hingga
sebulan berlalu, usaha Sasa masih tetap tak menghasilkan apa-apa. Malah ada
suatu kabar yang mengejutkan Sasa. Givon katanya baru saja pacaran dengan
Julia, cewek kelas 11 yang paling populer di sekolah. Betapa bodohnya ia terus
mengejar Givon hingga saat ini, batin Sasa. Biarkan lelaki itu tenggelam dalam
euforia kebahagiaannya sendiri.
Minggu
pagi, Kapel di Loyola sudah penuh dengan anak-anak 10 A berseragam batik. Hari
ini kelas 10 A mendapat jatah paduan suara di Kapel Loyola. Menaiki balkon
lantai 2 tempat paduan suara, anak-anak 10 A mulai menempatkan diri. Suasana
balkon ramai oleh bisik-bisik anak 10 A yang gugup. Tentu saja, ini kali
pertama mereka melayani di misa umum.
Selesai
pelayanan paduan suara di Kapel Loyola, anak-anak 10 A dan para umat yang
beribadah mulai pulang. Tinggalah Sasa yang duduk sendirian di kursi dalam
kapel. Orangtuanya baru bisa menjemput jam 9, sedangkan misa selesai jam 8.
Sambil menunggu, Sasa mulai melihat-lihat isi Kapel tersebut. Sejak pertama
kali masuk ke Kapel ini, Sasa langsung suka tempat ini. Ia merasa ada semacam
ada kekuatan magis yang menariknya untuk lebih mengetahui tempat ini. Berbeda
dengan gerejanya, Kapel kecil ini memiliki aura tenang dan suci yang mendalam.
Mimbar yang ditata sedemikian rupa sehingga terlihat indah, kursi umat yang
dicat coklat dan ditata rapi, dekorasi bunga-bunga yang ada di seluruh gedung
ini, balkon paduan suara yang misterius, jendela tinggi yang kuno dan menyimpan
misteri, dan...
“Anak
paduan suara tadi ya?” tiba-tiba seorang laki-laki tinggi berbadan tegap
membuyarkan lamunan Sasa. Ia duduk di sebelah Sasa dan memandang wajah Sasa,
menunggu jawaban. Deg! Wajah laki-laki keturunan Cina itu sangat manis apalagi
ketika sedang tersenyum.
“Iya.
Kok tau?” tanya Sasa balik.
“Tuh,
batikmu,” tunjuk laki-laki itu sambil tertawa. “Hai, aku Kevin.”
“Sasa,”
kata Sasa sambil membalas jabat tangan laki-laki di hadapannya.
“Kelas
10 ya?” tanya Kevin.
“Iya.
Baru sekali ini pelayanan di sini,” jawab Sasa.
“Oh,
pasti bukan Katolik ya?” tanya Kevin lagi.
“Iya,
aku Kristen,” jawab Sasa.
“Aku
nggak lihat kamu ambil komuni tadi. Makanya aku tau,” kata Kevin menjelaskan.
“Hei!
Kau mengamatiku?” tanya Sasa sambil memicingkan matanya.
“Kau
tak tau? Aku tugas misdinar tadi dan aku tidak melihatmu mengambil komuni,”
jawab Kevin.
“Yah,
intinya kau memperhatikan aku,” kata Sasa.
“Terserah
apapun katamu. By the way, kamu nggak pulang, Sa?” tanya Kevin.
“Papi
baru bisa jemput jam 9. Sekalian ke gerejaku,” jawab Sasa.
“Lho,
kamu ke gereja lagi? Hem... gimana kalo kamu ikut aku aja?” tanya Kevin.
“Harusnya
sih iya. Soalnya nggak ada yang nganter juga ini sampe ke rumahku,” jawab Sasa.
“Ikut kamu ke mana?”
“Jalan-jalan.
Aku pengen kenal kamu lebih deket,” ajak Kevin. Satu kalimat sederhana yang
sempat membuat Sasa menjadi deg-degan.
Hubungan
Sasa dan Kevin semakin merekat dari hari ke hari. Tinggal menunggu saat yang
tepat saja untuk mempersatukan mereka. Perbedaan agama nggak menghalangi Kevin
yang mencintai Sasa. Kedewasaan Kevin, menyebabkan Sasa mudah dekat dengan
Kevin. Perasaan cemburunya ketika berhadapan dengan Givon yang mengumbar-umbar
kemesraannya dengan Julia, menguap seketika setelah ia mengenal Kevin.
“Von?”
panggil Julia menyenggol perut Givon.
“Eh
iya, Beb? Kenapa?” tanya Givon.
“Aku
ngomong panjang lebar kamu nggak ndengerin sama sekali ya?” tanya Julia
jengkel.
“Kamu
ngomong apa Say? Maaf, aku lagi nggak konsen gini,” jawab Givon.
“Ahh
nggak tau, aku mau pulang aja!” kata Julia pura-pura marah untuk merayu Givon.
“Jangan
pulang dulu, Sayang!” panggil Givon sambil memeluk Julia. “Duduk dulu, aku
janji perhatiin kamu. Habisin dulu gih, makanannya.”
Di
kursi lain...
“Gimana
nilaimu di Loyola?” tanya Kevin pada Sasa. Yang ditanya malah tidak menjawab,
tapi memandang ke suatu arah dengan tatapan jijik.
“Sa...,”
panggil Kevin.
“Eh,
iya ya, Vin. Kenapa?” tanya Sasa.
“Lagi
nglamunin apa? Masalah cowok?” tanya Kevin balik.
“Hah?
Bukan kok. Anu... masalah tugasku yang belum selesai,” jawab Sasa sedikit
berbohong.
“Kirain
masalah cowok. Udah punya cowok kamu, Sa?” tanya Kevin.
“Hah?
Belum kok,” jawab Sasa.
“Kalo
gitu, aku boleh daftar nggak?” tembak Kevin langsung sambil memegang tangan
Sasa. Tiba-tiba di pikiran Sasa malah terlintas wajah Givon, semua kebaikan
Givon, semua kenyamanan yang ia rasakan bersama Givon. Ya, Sasa yakin ia kangen
Givon. Tapi, melihat Givon yang memeluk Julia tadi, menyebabkan Sasa jadi
ilfil.
Di
kursi milik kedua pasangan yang habis berpelukan, saat yang sama...
“Jelasin
ke aku, kamu tadi nglamunin apa?” todong Julia.
“Aku
lagi... mmm... nglamunin... bandku! Ya, LAB!” jawab Givon kentara sekali bahwa
ia berbohong.
“Kau
pikir aku nggak tau kamu lagi bohong?” tanya Julia sinis.
“Aku
nggak bohong, Sayang. LAB angkatanku lagi butuh singer,” jawab Givon.
“Ohh,
lalu... kalau aku nggak salah lihat, yang duduk di sana itu Sasa, right? Dan
sejak tadi, mengapa kamu terus memandang ke arah Sasa?” tanya Julia langsung.
“Hah?
Kamu bercanda? Ngapain aku ngeliatin Sasa kalo di depanku ada cewekku yang
paling cantik?” kata Givon mengelak.
“Dasar
cowok bajingan!” PLAK! Julia menampar pipi Givon. “Udah mikirin cewek lain
mulu, masih juga bohong! Kita putus!”
Di
kursi yang satunya...
“Sa?
Kamu mau nggak jadi pacar aku? Aku cinta kamu, Sa,” kata Kevin masih memegang
tangan Sasa.
“Aku...,”
ucapan Sasa terputus ketika ia mendengar dan melihat Julia menampar Givon.
Otomatis Sasa langsung berlari menghampiri Givon. Kevin hanya bisa ternganga di
tempat duduknya.
“Givon,
are you allright? Sakit?” tanya Sasa pada Givon penuh nada kecemasan.
“Inikah
cewek yang selalu kamu mimpikan dan kejar, Von?” tanya Julia memandang remeh
Sasa. “Asal kau tau, Von! Aku seribu kali lebih baik dari cewek kampung ini!”
PLAK!
Kali ini ganti Sasa yang menampar pipi Julia dengan seluruh emosinya.
“Heh,
cewek jalang! Nggak usah ngomong sembarangan! Bibir tuh dijaga, jangan cuma
buat French kiss sama cowok-cowok di diskotek!” seru Sasa kontan membuat Julia
menegang.
“Jadi,
Jul.... Selama kita pacaran, kamu juga melayani om-om di diskotek? Astaga, aku
nggak pernah nyangka akan punya cewek jalang kayak kamu!” seru Givon. Julia
langsung lari dari hadapan mereka karena takut rahasianya terbongkar lebih
banyak.
“Kamu
nggak papa kan, Von?” tanya Sasa,
“Kamu
tau Julia ke diskotek dari mana, Sa?” tanya Givon tidak menjawab pertanyaan
Sasa.
“Aku
liat dia waktu itu lagi ciuman sama om-om di depan diskotek deket Indomart,”
jawab Sasa.
“Ohh,
pantes aja. Kadang-kadang Julia bisa bau rokok atau miras. Nggak jarang juga
matanya sering kayak orang kurang tidur. Mungkin dia pulang pagi habis melayani
om-om gitu,” kata Givon.
“Sasa,”
panggil Kevin kalem.
“Kevin,”
jawab Sasa kaget karena Kevin sudah ada di dekatnya.
“Jadi,
kamu Givon, cowok yang sering banget diceritain Sasa?” tanya Kevin pada Givon.
“Kamu
cerita apa aja, Sa?” tanya Givon pada Sasa. Yang ditanya malah langsung merah
padam wajahnya.
“Udah,
nggak usah dibahas!” kata Sasa malu.
“Oh
ya, Sa.... Untuk yang tadi di meja, lupakan aja! Anggap aku nggak pernah
ngomong gitu,” kata Kevin.
“Maaf
ya, Vin. Aku nggak bisa jawab ‘iya’. Aku selama ini cuma nganggep kamu sebagai
kakak aku. Jadi ya, you know what I mean,” kata Sasa sedikit merasa bersalah.
“Nggak
papa kok. Eh, aku pulang dulu ya!” pamit Kevin. Sebelum pulang, Kevin
membisikkan sesuatu pada Givon. “Dia cewek yang baik. Nggak masalah beda agama,
Tuhannya kan sama aja. Jangan jadikan agama sebagai penghalang cinta, ya!
Bahagiakan dia, Bro!”
“Sa....”
“Ya?”
“Maaf
ya, aku ninggalin kamu waktu itu. Aku cuma ngak mau aja, kita menjalin cinta
beda agama gini. Dari dulu, aku pantang banget pacaran sama orang yang beda
agama. Tapi, setelah aku pacaran dengan Julia, entah kenapa aku merasa aku
semakin menyayangimu tiap harinya. Ketika tau kamu dekat dengan Kevin, api
cemburu langsung membakar hatiku,” jelas Givon panjang lebar.
“Von...
kamu nggak tau betapa sakitnya aku waktu tau kamu memilih meninggalkan aku
hanya karena beda agama?” tanya Sasa.
“Aku
tau. Makanya aku minta maaf. Nggak cuma kamu yang menderita, aku pun
merasakannya,” jawab Givon. “So, would you try to walk with me, Sa?”
“Von,
ini nggak terlalu cepat?” tanya Sasa.
“Terlalu
cepat gimana?” tanya Givon balik.
“Setelah
semua peristiwa ini, aku hanya merasa...,” jawab Sasa tidak melanjutkan
kalimatnya.
“Aku
tau, tapi, aku terlanjur cinta padamu dan aku nggak bisa nglepasin kamu lagi,”
kata Givon.
“Ajak
aku ke Kapel Loyola dulu. Aku mau ketemu Tuhan dulu,” kata Sasa.
“Baiklah!”
Sasa
memasuki Kapel dan duduk di salah satu bangku panjang di Kapel. Selalu saja ada
sebuah kesejukkan memenuhi hatinya ketika ia ada di Kapel ini. Setelah berdoa
sejenak dan mengamati Mimbar yang indah, dekorasi bunga-bunga yang menyejukkan,
jendela penuh misteri, Sasa keluar dari Kapel dan menemui Givon.
“Von...
aku sudah bisa berpikir jernih sekarang,” kata Sasa.
“So,
jawabannya?” tanya Givon.
“Aku
mau berjalan bersamamu di masa depanku,” jawab Sasa sambil memeluk Givon dengan
erat.
Angin
mendesis perlahan menerbangkan rambut Sasa, menelusup pintu Kapel, dan
mengganti setiap udara yang ada di Kapel....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar