Rabu, 27 Februari 2013

Atas Dasar Cinta


“Kelompok 18? Ayo semua ke sini,” ajak seorang lelaki berkacamata putih.
“Nah, di sini, ayo duduk. Kita bentuk lingkaran,” ajak seorang gadis tinggi berkawat gigi dan berambur panjang yang kelihatan sangat cantik.
“Perkenalan dulu ya. Aku Rio. Kalian bisa panggil aku Kak Rio. Ini Justice, Kak Justice,” lelaki berkacamata putih tadi memperkenalkan dirinya.
“Nah, kami di sini berperan sebagai pembimbing kalian. Kalau ada apa-apa, tanyakan saja pada kami. Sekarang kalian perkenalan dulu satu-satu ya! Sebut nama panggilan sama asal sekolah dan kota. Dimulai dari kamu,” kata Justice sambil menunjuk seorang gadis berkacamata yang duduk di sebelahnya.
“Sasa, YSKI, Semarang,” kata gadis berkacamata tadi.
“Lanjut ke sebelahnya,” kata Rio.
“Belinda, Domsav, Semarang,” kata seorang gadis manis.
“Sella, Domsav, Semarang,” kata seorang gadis berambut keriting.
“Givon, Domsav, Semarang,” kata seorang lelaki yang tampan.
 “Ariel, Domsav, Semarang,” kata seorang lelaki berkacamata dan berkulit hitam.
“Farell, Pius Pekalongan, Pekalongan,” kata seorang lelaki yang sedikit gemuk.
 “Vannya, Stece, Jogja,” kata seorang gadis mungil berkulit putih yang sangat cantik.
“Dion, Domsav, Semarang,” kata seorang lelaki berjerawat banyak.
“Nah, kalian punya tugas untuk mencatat atribut apa saja yang perlu dibawa besok Senin. Bagi kelompok aja ya. Ini kan ceweknya 4, cowoknya 4. Dibuat cewek cowok aja biar tambah akrab,” kata Rio.
“Ini pos-posnya,” Justice menunjukkan catatannya pada kedelapan anak kelompok 18 itu.
“Catat selengkap mungkin. Jangan sampai di hari pertama POPSILA nanti, kalian salah atribut. Eh, kalian sudah tau belum singkatannya POPSILA?” tanya Rio.
“Pekan Orientasi dan Pengenalan Siswa Kolose Loyola. Aku dikasih tau kakakku,” jawab Ariel.
“Pinter! So, diinget-inget yah teman. Jangan sampai kalian nggak tau singkatannya. Sudah sana, segera menuju pos. Cowok cewek ya!” kata Rio.
“Sasa? Sama aku yuk!” ajak Givon tiba-tiba.
“Oke!” jawab Sasa sambil tersenyum.
“Kamu kelas apa, Sa?” tanya Givon.
“Sepuluh A. Kamu?” tanya Sasa balik.
“Lho? Sama, aku juga 10 A! Wah, lumayan ya, ada temen sekelas di satu kelompok, jadi aku nggak kagok,” jawab Givon.
“Kamu kan dari Domsav, Von. Banyak temennya gitu?” tanya Sasa heran.
“Hehehe... iya sih, tapi kan mereka pada nggak satu kelas, jadi yah nggak enak lah. Kamu sendiri, dari YSKI berapa orang?” tanya Givon.
“Aku satu-satunya yang dari YSKI ini,” jawab Sasa.
“Masa? Wah hebat dong!” puji Givon.
Nggak butuh waktu lama, Sasa dan Givon udah kaya temen lama. Memang dasarnya Sasa itu supel dan Givon juga menyenangkan, jadi makin mudah untuk akrab. Di hari Senin, ketika masuk ke kelas, Sasa sama Givon udah cerewet sendiri sampai ditegur guru. Masing-masing merasakan suatu kenyamanan tersendiri ketika mereka selalu bersama.

“Lho? Sasa? Kamu nggak pulang?” tanya Givon suatu hari ketika Givon selesai ekstra dan menemukan Sasa masih ada di depan gedung Markus sambil mainin laptopnya.
“Belum ada yang jemput, Von. Papi bisanya jemput jam 5. Aku nggak boleh naik angkot sendirian,” jawab Sasa.
“Oalah. Kamu rumahnya mana sih?” tanya Givon.
“Daerah Plamongan kok,” jawab Sasa.
“Hah? Plamongan? Pulang bareng aku aja yuk! Rumahku juga di Plamongan. Ini mau naik bis,” ajak Givon.
“Oh ya? Ayo deh, kalo ada temennya gini, pasti Papi bolehin deh!” kata Sasa sambil memencet-mencet IPhone 4s nya dan menelepon Papinya. Givon hanya tersenyum melihat Sasa begitu bersemangat karena bisa pulang. Sejak hari itu, Givon dan Sasa selalu pulang bersama setiap hari.

“KKL Kelas 10, segera ke Kapel sekarang juga! Kita ada misa angkatan,” suara speaker di seluruh sekolah berbunyi ketika istirahat ketiga dimulai. KKL adalah singkatan dari Keluarga Kolose Loyola.
“Sa, ke Kapel yuk!” ajak Givon.
“Maaf, Von. Kamu duluan aja. Aku masih ada perlu sama Selli,” jawab Sasa.
“Oh, yaudah. Duluan ya!” kata Givon.
“Hei, Von. Mau ke Kapel? Sama aku yuk!” ajak Eric dan teman-temannya, anak kelas 11 yang terkenal banget karena bandnya yang terus menjuarai lomba-lomba. Sasa hanya bisa menggumam karena kagum dengan kepopuleran Givon. Belum satu bulan mereka masuk SMA, Givon sudah terdaftar sebagai calon drummer LAB (Loyola Acoustic Band).
Sasa nggak pernah masuk ke Kapel sebelumnya. Maklum, Sasa kan agamanya Kristen, jadi dia selalu berada di gereja-gereja Kristen. Begitu melihat Kapel, Sasa langsung terkagum-kagum. Diikuti Selli di sebelahnya, Sasa mulai jadi kepo, bertanya ini itu pada Selli.
“Sel, orang Katolik kalau masuk ke Kapel, selalu buat tanda Salib dulu pake air yang ada di sebelah pintu masuk ya? Itu air apaan?” tanya Sasa.
“Itu namanya air biasa yang udah diberkati, Say. Maksudnya biar kita suci dulu. Kan kita mau masuk ke rumah Tuhan,” jawab Selli.
“Ohh, trus kalo mau duduk harus buat tanda salib dulu ya?” tanya Sasa lagi.
“Iya. Sebagai salam hormat sama Tuhan. Kita sebagai tamu Tuhan, nggak baik kan kalo tiba-tiba langsung duduk gitu?” jawab Selli. Selli memang maklum banget sama Sasa, temannya yang cerewet ini.
“Trus, kok disebut Kapel kenapa?” tanya Sasa.
“Karena lebih kecil dari Gereja, Sa. Kalo gede dan berada di bawah sebuah paroki, itu gereja. Eh itu Pater udah dateng. Kamu ikut prosesinya ya. Ikuti aja pelan-pelan. Nanti waktu terima komuni nggak usah maju, kamu belum baptis Katolik soalnya,” kata Selli.
“Komuni itu apa?” tanya Sasa dengan suara berbisik.
“Itu, yang makan hosti, setauku kalo di Kristen itu perjamuan suci gitu,” jawab Selli. Sasa hanya membuat huruf O di mulutnya tanpa suara. Sasa mengikuti misa hari itu dengan berusaha sesopan mungkin. Selesai misa, ia mencoba mencari Givon karena mereka akan pulang bersama seperti biasa.
“Givon! Pulang yuk!” ajak Sasa ketika menemukan Givon yang sedang mengobrol dengan ketua DKKL (Dewan Keluarga Kolose Loyola, sejenis OSIS di Loyola). “Eh, ada Evan.”
“Hai, kamu pasti temen Givon yang namanya Sasa,” tebak Evan.
“Eh, kok tau?” tanya Sasa.
“Givon sering banget cerita tentang kamu. Von, gitu aja dulu ya, nanti kalo ada perkembangan, kasi kabar ke aku, oke?” kata Evan.
“Oke, siap Bos! Aku pulang dulu deh ya!” pamit Givon.
“Dadah, Van!” pamit Sasa.
“Kamu ada proyek apa sama Evan?” tanya Sasa.
“Rahasia. Nggak semua orang boleh tau,” jawab Givon.
“Ih, pelit! Kan biasanya kamu selalu cerita semuanya sama aku,” Sasa pura-pura marah.
“Biarin,” jawab Givon singkat.
“Von, pulang langsung kan? Kamu nggak mau mampir liat anak-anak LAB latihan?” tanya Sasa lagi.
“Nggak,” jawab Givon yang lagi-lagi singkat. Sasa hanya bisa mengangkat bahu melihat perubahan sikap Givon. Ingin ia bertanya, tapi ia tidak ingin mencampuri urusan pribadi Givon. Tapi, rasa penasaran terus berkecamuk di hatinya. Sasa adalah tipe orang yang blak-blakan sehingga akhirnya, ia bertanya juga.
“Von, kamu lagi badmood? Ato lagi marah sama aku? Kok jawabnya nggak enak gitu?” tanya Sasa.
“Kamu mau jawaban jujur apa nggak?” tanya Givon balik.
“Jelas jawaban jujur lah!” jawab Sasa semakin penasaran.
“Agamamu apa?” tanya Givon langsung. Deg! Kenapa jadi masalahin agama gini? Batin Sasa.
“Kristen. Kenapa?” tanya Sasa balik.
“Tuh kan! Pantes tadi waktu komuni kamu nggak maju! Kamu... jahat banget nggak pernah kasi tau aku agamamu selama ini!” protes Givon.
“Lho? Emang harus yah aku kasi tau kamu agamaku? Apakah kamu serendah ini sampai memandang agama sebagai batas pergaulan?” tanya Sasa tajam.
“Kalau hanya pergaulan, aku nggak pernah masalahin perbedaan agama. Tapi kalau sampai menyentuh cinta? Lain ceritanya!” jawab Givon ketus dan meninggalkan Sasa sendirian di gerbang sekolah. Sasa hanya bisa termenung. Cinta? Sedalam itukah perasaan Givon padanya?

Esok harinya, Sasa mencoba mendekati Givon. Tapi yang didekati, sepertinya tahu apa tujuan Sasa dan sengaja menjauh. Keesokkan harinya masih sama. Lusa tetap sama. Seminggu berlalu dan semua usaha Sasa sia-sia. Berada jauh dari Givon membuat Sasa kehilangan kenyamanannya. Selama ini, Sasa sudah terlalu bergantung pada keberadaan Givon di sisinya.
Hingga sebulan berlalu, usaha Sasa masih tetap tak menghasilkan apa-apa. Malah ada suatu kabar yang mengejutkan Sasa. Givon katanya baru saja pacaran dengan Julia, cewek kelas 11 yang paling populer di sekolah. Betapa bodohnya ia terus mengejar Givon hingga saat ini, batin Sasa. Biarkan lelaki itu tenggelam dalam euforia kebahagiaannya sendiri.

Minggu pagi, Kapel di Loyola sudah penuh dengan anak-anak 10 A berseragam batik. Hari ini kelas 10 A mendapat jatah paduan suara di Kapel Loyola. Menaiki balkon lantai 2 tempat paduan suara, anak-anak 10 A mulai menempatkan diri. Suasana balkon ramai oleh bisik-bisik anak 10 A yang gugup. Tentu saja, ini kali pertama mereka melayani di misa umum.

Selesai pelayanan paduan suara di Kapel Loyola, anak-anak 10 A dan para umat yang beribadah mulai pulang. Tinggalah Sasa yang duduk sendirian di kursi dalam kapel. Orangtuanya baru bisa menjemput jam 9, sedangkan misa selesai jam 8. Sambil menunggu, Sasa mulai melihat-lihat isi Kapel tersebut. Sejak pertama kali masuk ke Kapel ini, Sasa langsung suka tempat ini. Ia merasa ada semacam ada kekuatan magis yang menariknya untuk lebih mengetahui tempat ini. Berbeda dengan gerejanya, Kapel kecil ini memiliki aura tenang dan suci yang mendalam. Mimbar yang ditata sedemikian rupa sehingga terlihat indah, kursi umat yang dicat coklat dan ditata rapi, dekorasi bunga-bunga yang ada di seluruh gedung ini, balkon paduan suara yang misterius, jendela tinggi yang kuno dan menyimpan misteri, dan...
“Anak paduan suara tadi ya?” tiba-tiba seorang laki-laki tinggi berbadan tegap membuyarkan lamunan Sasa. Ia duduk di sebelah Sasa dan memandang wajah Sasa, menunggu jawaban. Deg! Wajah laki-laki keturunan Cina itu sangat manis apalagi ketika sedang tersenyum.
“Iya. Kok tau?” tanya Sasa balik.
“Tuh, batikmu,” tunjuk laki-laki itu sambil tertawa. “Hai, aku Kevin.”
“Sasa,” kata Sasa sambil membalas jabat tangan laki-laki di hadapannya.
“Kelas 10 ya?” tanya Kevin.
“Iya. Baru sekali ini pelayanan di sini,” jawab Sasa.
“Oh, pasti bukan Katolik ya?” tanya Kevin lagi.
“Iya, aku Kristen,” jawab Sasa.
“Aku nggak lihat kamu ambil komuni tadi. Makanya aku tau,” kata Kevin menjelaskan.
“Hei! Kau mengamatiku?” tanya Sasa sambil memicingkan matanya.
“Kau tak tau? Aku tugas misdinar tadi dan aku tidak melihatmu mengambil komuni,” jawab Kevin.
“Yah, intinya kau memperhatikan aku,” kata Sasa.
“Terserah apapun katamu. By the way, kamu nggak pulang, Sa?” tanya Kevin.
“Papi baru bisa jemput jam 9. Sekalian ke gerejaku,” jawab Sasa.
“Lho, kamu ke gereja lagi? Hem... gimana kalo kamu ikut aku aja?” tanya Kevin.
“Harusnya sih iya. Soalnya nggak ada yang nganter juga ini sampe ke rumahku,” jawab Sasa. “Ikut kamu ke mana?”
“Jalan-jalan. Aku pengen kenal kamu lebih deket,” ajak Kevin. Satu kalimat sederhana yang sempat membuat Sasa menjadi deg-degan.
Hubungan Sasa dan Kevin semakin merekat dari hari ke hari. Tinggal menunggu saat yang tepat saja untuk mempersatukan mereka. Perbedaan agama nggak menghalangi Kevin yang mencintai Sasa. Kedewasaan Kevin, menyebabkan Sasa mudah dekat dengan Kevin. Perasaan cemburunya ketika berhadapan dengan Givon yang mengumbar-umbar kemesraannya dengan Julia, menguap seketika setelah ia mengenal Kevin.

“Von?” panggil Julia menyenggol perut Givon.
“Eh iya, Beb? Kenapa?” tanya Givon.
“Aku ngomong panjang lebar kamu nggak ndengerin sama sekali ya?” tanya Julia jengkel.
“Kamu ngomong apa Say? Maaf, aku lagi nggak konsen gini,” jawab Givon.
“Ahh nggak tau, aku mau pulang aja!” kata Julia pura-pura marah untuk merayu Givon.
“Jangan pulang dulu, Sayang!” panggil Givon sambil memeluk Julia. “Duduk dulu, aku janji perhatiin kamu. Habisin dulu gih, makanannya.”

Di kursi lain...
“Gimana nilaimu di Loyola?” tanya Kevin pada Sasa. Yang ditanya malah tidak menjawab, tapi memandang ke suatu arah dengan tatapan jijik.
“Sa...,” panggil Kevin.
“Eh, iya ya, Vin. Kenapa?” tanya Sasa.
“Lagi nglamunin apa? Masalah cowok?” tanya Kevin balik.
“Hah? Bukan kok. Anu... masalah tugasku yang belum selesai,” jawab Sasa sedikit berbohong.
“Kirain masalah cowok. Udah punya cowok kamu, Sa?” tanya Kevin.
“Hah? Belum kok,” jawab Sasa.
“Kalo gitu, aku boleh daftar nggak?” tembak Kevin langsung sambil memegang tangan Sasa. Tiba-tiba di pikiran Sasa malah terlintas wajah Givon, semua kebaikan Givon, semua kenyamanan yang ia rasakan bersama Givon. Ya, Sasa yakin ia kangen Givon. Tapi, melihat Givon yang memeluk Julia tadi, menyebabkan Sasa jadi ilfil.

Di kursi milik kedua pasangan yang habis berpelukan, saat yang sama...
“Jelasin ke aku, kamu tadi nglamunin apa?” todong Julia.
“Aku lagi... mmm... nglamunin... bandku! Ya, LAB!” jawab Givon kentara sekali bahwa ia berbohong.
“Kau pikir aku nggak tau kamu lagi bohong?” tanya Julia sinis.
“Aku nggak bohong, Sayang. LAB angkatanku lagi butuh singer,” jawab Givon.
“Ohh, lalu... kalau aku nggak salah lihat, yang duduk di sana itu Sasa, right? Dan sejak tadi, mengapa kamu terus memandang ke arah Sasa?” tanya Julia langsung.
“Hah? Kamu bercanda? Ngapain aku ngeliatin Sasa kalo di depanku ada cewekku yang paling cantik?” kata Givon mengelak.
“Dasar cowok bajingan!” PLAK! Julia menampar pipi Givon. “Udah mikirin cewek lain mulu, masih juga bohong! Kita putus!”

Di kursi yang satunya...
“Sa? Kamu mau nggak jadi pacar aku? Aku cinta kamu, Sa,” kata Kevin masih memegang tangan Sasa.
“Aku...,” ucapan Sasa terputus ketika ia mendengar dan melihat Julia menampar Givon. Otomatis Sasa langsung berlari menghampiri Givon. Kevin hanya bisa ternganga di tempat duduknya.
“Givon, are you allright? Sakit?” tanya Sasa pada Givon penuh nada kecemasan.
“Inikah cewek yang selalu kamu mimpikan dan kejar, Von?” tanya Julia memandang remeh Sasa. “Asal kau tau, Von! Aku seribu kali lebih baik dari cewek kampung ini!”
PLAK! Kali ini ganti Sasa yang menampar pipi Julia dengan seluruh emosinya.
“Heh, cewek jalang! Nggak usah ngomong sembarangan! Bibir tuh dijaga, jangan cuma buat French kiss sama cowok-cowok di diskotek!” seru Sasa kontan membuat Julia menegang.
“Jadi, Jul.... Selama kita pacaran, kamu juga melayani om-om di diskotek? Astaga, aku nggak pernah nyangka akan punya cewek jalang kayak kamu!” seru Givon. Julia langsung lari dari hadapan mereka karena takut rahasianya terbongkar lebih banyak.
“Kamu nggak papa kan, Von?” tanya Sasa,
“Kamu tau Julia ke diskotek dari mana, Sa?” tanya Givon tidak menjawab pertanyaan Sasa.
“Aku liat dia waktu itu lagi ciuman sama om-om di depan diskotek deket Indomart,” jawab Sasa.
“Ohh, pantes aja. Kadang-kadang Julia bisa bau rokok atau miras. Nggak jarang juga matanya sering kayak orang kurang tidur. Mungkin dia pulang pagi habis melayani om-om gitu,” kata Givon.
“Sasa,” panggil Kevin kalem.
“Kevin,” jawab Sasa kaget karena Kevin sudah ada di dekatnya.
“Jadi, kamu Givon, cowok yang sering banget diceritain Sasa?” tanya Kevin pada Givon.
“Kamu cerita apa aja, Sa?” tanya Givon pada Sasa. Yang ditanya malah langsung merah padam wajahnya.
“Udah, nggak usah dibahas!” kata Sasa malu.
“Oh ya, Sa.... Untuk yang tadi di meja, lupakan aja! Anggap aku nggak pernah ngomong gitu,” kata Kevin.
“Maaf ya, Vin. Aku nggak bisa jawab ‘iya’. Aku selama ini cuma nganggep kamu sebagai kakak aku. Jadi ya, you know what I mean,” kata Sasa sedikit merasa bersalah.
“Nggak papa kok. Eh, aku pulang dulu ya!” pamit Kevin. Sebelum pulang, Kevin membisikkan sesuatu pada Givon. “Dia cewek yang baik. Nggak masalah beda agama, Tuhannya kan sama aja. Jangan jadikan agama sebagai penghalang cinta, ya! Bahagiakan dia, Bro!”
“Sa....”
“Ya?”
“Maaf ya, aku ninggalin kamu waktu itu. Aku cuma ngak mau aja, kita menjalin cinta beda agama gini. Dari dulu, aku pantang banget pacaran sama orang yang beda agama. Tapi, setelah aku pacaran dengan Julia, entah kenapa aku merasa aku semakin menyayangimu tiap harinya. Ketika tau kamu dekat dengan Kevin, api cemburu langsung membakar hatiku,” jelas Givon panjang lebar.
“Von... kamu nggak tau betapa sakitnya aku waktu tau kamu memilih meninggalkan aku hanya karena beda agama?” tanya Sasa.
“Aku tau. Makanya aku minta maaf. Nggak cuma kamu yang menderita, aku pun merasakannya,” jawab Givon. “So, would you try to walk with me, Sa?”
“Von, ini nggak terlalu cepat?” tanya Sasa.
“Terlalu cepat gimana?” tanya Givon balik.
“Setelah semua peristiwa ini, aku hanya merasa...,” jawab Sasa tidak melanjutkan kalimatnya.
“Aku tau, tapi, aku terlanjur cinta padamu dan aku nggak bisa nglepasin kamu lagi,” kata Givon.
“Ajak aku ke Kapel Loyola dulu. Aku mau ketemu Tuhan dulu,” kata Sasa.
“Baiklah!”

Sasa memasuki Kapel dan duduk di salah satu bangku panjang di Kapel. Selalu saja ada sebuah kesejukkan memenuhi hatinya ketika ia ada di Kapel ini. Setelah berdoa sejenak dan mengamati Mimbar yang indah, dekorasi bunga-bunga yang menyejukkan, jendela penuh misteri, Sasa keluar dari Kapel dan menemui Givon.
“Von... aku sudah bisa berpikir jernih sekarang,” kata Sasa.
“So, jawabannya?” tanya Givon.
“Aku mau berjalan bersamamu di masa depanku,” jawab Sasa sambil memeluk Givon dengan erat.
Angin mendesis perlahan menerbangkan rambut Sasa, menelusup pintu Kapel, dan mengganti setiap udara yang ada di Kapel....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar