Rabu, 27 Februari 2013

Love with Heart



Fiona sibuk memasukkan buku-buku pelajaran ke dalam ransel kiplingnya. Hari ini, gadis bersoftlens abu-abu itu bangun kesiangan dan lupa menata buku-bukunya. Semalam, ia lembur untuk mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk.
“Fi, udah belum? Ayo berangkat! Nanti Papi telat,” panggil Papi Fiona dari ruang makan.
“Iya, Pi. Bentar lagi,” jawab Fiona dari dalam kamar. Terburu-buru ia mengambil jam tangan dan pita merah dari rak aksesorisnya. Tak lupa, ia menyambar BB Torch nya dari meja belajar. Setelah itu, segera saja ia melesat keluar dari kamar dan memasukkan kaki asal-asalan ke dalam sepatu keds putih pink nya. Punggung kanannya menggendong ransel kipling, tangan kirinya membawa kaos kaki dan map pink, tangan kanannya menyambar setangkap roti bakar di meja makan setelah sebelumnya juga membawa pita dan jam tangan. Benar-benar bukan pemandangan yang enak dilihat.
“Fio, Papi udah bilang kan berkali-kali, kamu itu harus bisa bangun pagi setiap hari. Jalanan di Semarang tambah macet tiap harinya,” kata Papi Fiona ketika ia sudah di mobil.
“Fhio semawem kwetiduhran abish lhembuhr tuwgash,” kata Fiona dengan mulut yang penuh roti. Di tengan kesibukannya mengunyah, Fiona masih bisa menjawab pertanyaan Papinya sambil memakai jam tangan dan pitanya. Benar-benar hebat gadis ini.
“FIO! Jangan makan sambil ngomong gitu dong. Jorok ih,” seru Papi Fiona.
“Lagian Papi ngajak ngomong waktu Fio lagi makan,” jawab Fiona. Gadis itu sudah selesai makan dan sedang memakai kaus kakinya. Setelah semua pekerjaannya beres, Fiona mengambil BB nya dari kantong roknya dan membalas BBM yang masuk.

“Fio!” panggil Evan ketika melihat Fiona di kantin.
“Hei, Van!” jawab Fiona sambil berjalan ke arah Evan.
“Fi, kamu nggak makan?” tanya Klara sahabatnya. Selain Klara, masih ada 2 sahabatnya yang lain yang ikut ke kantin.
“Nggak usah, kalian aja sana cari makan,” jawab Fio mulai duduk di depan Evan yang lagi makan bakso.
“Yaudah, tinggal ya, Fi! Ntar kalo kami mau naik, kamu aku ajak,” kata Cheryl.
“Ciyee, ada Evan langsung nggak laper nih, tadi aja ribut pengen makan,” goda Calvin sambil berbisik kepada Fiona. Wajah Fiona pun langsung berubah warna jadi merah.

“Fi, Cher, Vin, kalian bertiga harus dateng ke ultah sweetku!” kata Marlene sambil membagikan undangan sweetnya. Marlene adalah kakak dari Klara.
“Aku nggak, Kak?” tanya Klara.
“Ngapain kamu aku kasih undangan, heh? Pasti kamu dateng lah!” jawab Marlene.
“Kapan Lin?” tanya Calvin.
“Sabtu depan. Bisa kan?” jawab Marlene. Yang lain mengangguk-angguk tanda setuju.
“Terutama kamu, Fi! Ada yang mau kenalan sama kamu,” kata Marlene lagi. Lalu ia pergi meninggalkan Fiona, Klara, Cheryl, dan Calvin yang terbengong-bengong.
“Ciyeh, Fio.... Ada fans nih!” goda Cheryl.
“Diem, ah!” protes Fiona.
“Nanti Evan ada saingannya tuh!” tambah Calvin.
“Udah, udah. Kasian tuh Fiona ngambek,” lerai Klara.

Pukul 05.30, Sabtu...
“Cher, aku kurang apa?” tanya Fiona pada Cheryl yang saat ini ada di rumahnya untuk berangkat bersama ke sweet Marlene.
“Kurang cantik,” jawab Cheryl sekenanya. Cheryl sedang sibuk mengkriting rambutnya sehingga ia tidak melihat Fiona.
“Cheryl ih! Serius tau!” pukul Fiona pada bahu Cheryl.
“Bentar, aku lagi curly. Diem dulu!” perintah Cheryl.
“Iya, iya!” akhirnya Fiona hanya bisa diam sambil bermain BB nya, membalas semua BBM yang masuk.
“Fi, berangkat yuk! Astaga, kamu cantik banget, Fi!” seru Cheryl begitu melihat Fiona. Fiona terbalut dalam gaun kemben pendek berwarna merah muda dan ada aksesoris pita hitam di belakang gaunnya. Heels senada yang digunakannya semakin menunjukkan bahwa ia sedang tumbuh dewasa. Rambut panjangnya dihiasi dengan kepangan yang dibuat bando. Make up yang soft dan natural membuatnya terlihat lebih segar.
“Makasih, Cher! You look so elegant, too. Ayo berangkat!” puji Fiona. Lain Fiona, lain Cheryl. Gadis bermata sipit itu mengganti kacamata beningnya dengan softlens coklat. Berbalut gaun turtleneck coklat putih selutut, Cheryl memakai wedges warna kulit. Rambut yang ia curly, diberi aksesoris bando berpita hitam. Make up yang dewasa, nampak pada wajahnya.
Kedua gadis yang sudah siap “perang” itu segera masuk ke Innova abu-abu milik Fiona. Diantar sopir Fiona mereka berdua melaju ke Linds Papandayan.

“Waw, Fi. Aku belum pernah lihat tempat seindah ini!” seru Cheryl kagum. Pemandangan lantai satu dari restoran itu sangat mengejutkan. Bulan Desember ini, ruangan di lantai satu didesain sedemikian rupa supaya menggambarkan suasana natal. Dua pohon yang berhias lampu-lampu hijau dan merah, terlihat menakjubkan. Setiap meja memiliki lilin yang menyala, menambah kesan romantis pada tempat ini. Piring-piring porselen menghiasi dinding di atas kasir, bahkan ada 2 tumpuk ban mobil yang atasnya diberi kaca sebagai meja. Uniknya semua desain mewah yang ada pada tempat ini malah menunjukkan suasana jaman dahulu.
“Permisi, sweet seventeen Marlene?” tanya Fiona pada pelayan yang ada di situ.
“Langsung naik lift ke lantai 3 ya!” jawab pelayan itu.
“Makasih.”
“Fi! Ini lift nya? Ya ampun, keren banget, didesain kayak gua gini,” komentar Cheryl saat mereka berdua sudah ada di dalam lift berpintu putih.
“Udah ah, Cher. Diem, malu-maluin kamu komentar mulu,” kata Fiona.
“Habis gimana, indah banget gini tempatnya,” kata Cheryl.
Ting! Pintu lift terbuka. Cheryl benar-benar merasa kagum di lantai 3 ini. Standing party yang diadakan Marlene benar-benar memilih tempat yang tepat. Lantai 3 ini didesain balkon yang berhias lampion-lampion merah di atapnya. Angin semilir berhembus dengan lembut membuat Cheryl benar-benar terlena. Sangat indah, batinnya. Cheryl memang ingin menjadi penata ruang ketika besar nanti, maka dari itu, ia sangat terkagum-kagum pada pendesain ruangan ini.
“Marlene, happy birthday!” seru Fiona sambil memeluk Marlene.
“Happy birthday, Sayang!” gantian Cheryl yang memeluk Marlene.
“Terimakasih, teman-teman. Hei, mana Calvin?” tanya Marlene.
“Dia sedang di dalam lift katanya,” jawab Cheryl sambil memencet-mencet BB Onyx 2 nya. Tidak sampai satu menit, Calvin keluar dari lift dan langsung menuju ke arah Marlene sambil tersenyum lebar.
“Happy birthday, Girls! You look so gorgeous this night,” kata Calvin sambil menyalami Marlene.
“Thanks, Man. You, too,” jawab Marlene.
“Kak, ini ada kado dari kami berempat. Hope you like it,” kata Klara yang tadi menghilang untuk mengambil kado besar yang ia sembunyikan.
“Ohh, thanks! Aku ke sana dulu, ya teman! Fi, ikut aku!” pamit Marlene sambil mengandeng Fiona menghampiri seorang cowok tinggi yang berkulit sawo matang.
“Marco, ini Fiona. Fi, kenalin sepupu aku, Marco,” kata Marlene memperkenalkan keduanya.
“Fiona.”
“Marco.”
“Oh ada Silvia! Aku ke sana dulu ya, teman!” kata Marlene sambil mengedipkan matanya ke arah Marco.
“Jadi, kamu Fiona?” tanya Marco.
“Iya. Dan kamu adalah orang yang ingin berkenalan denganku?” tanya Fiona balik.
“Haha! Kau benar. Kelas berapa?” tanya Marco ingin tahu.
“Baru kelas 10. Kamu sendiri?”
“Kelas 12. Seangkatan sama Marlene.”
Obrolan-obrolan kecil antara Fiona dan Marco semakin mendalam. Tak ada yang sadar, ada ketiga pasang mata yang sedang mengamati mereka berdua. Ketiga pemilik mata yang berdiri di pinggir balkon ini tampak senang melihat Fiona akrab dengan sepupu Marlene dan Klara. Menurut mereka, Marco jauh lebih baik daripada Evan yang suka memanfaatkan harta cewek yang disukainya.

“Fi, siapa tuh tadi yang ngomong-ngomong mulu sama kamu sampai kita nggak punya quality time?” tanya Cheryl pura-pura tidak tau saat perjalanan pulang. Ia hanya ingin mendengar komentar jujur dari Fiona.
“Marco, sepupu Klara sama Marlene. Marco asik sih orangnya, jadi bisa nyambung terus gitu,” jawab Fiona sambil mengingat-ingat percakapannya dengan Marco tadi.
“So, pick one, Evan or Marco?” tanya Cheryl to the point.
“Yee, nggak bisa gitu dong, Cher! Beda dong mereka berdua,” jawab Fiona sambil menoyor kepala Cheryl.
“Lho beda apanya? Kan sama-sama cowok,” tanya Cheryl sambil tertawa. Akhirnya mereka malah tertawa bersama selama beberapa saat.
“Cher, dengerin ya! Evan itu ganteng, pinter, atletis. Tapi Marco? Iya tinggi, tapi nggak ganteng, sayang,” jelas Fiona setelah mengakhiri tawanya.
“Lho, kalo jelek kenapa? Kan nyari cowok, nggak harus lewat fisiknya,” tanya Cheryl.
“Bukan jelek, nggak ganteng!” cewek ini suka sekali ketepatan. “Actually he’s kind, but I don’t have feel like I have feel to Evan. Tau lah maksudku.”
“Tau nggak, Fi istilah witing tresna jalaran saka kulina?” tanya Cheryl.
“Cinta datang karena terbiasa? Tau, Cher. Tapi aku nggak pernah percaya istilah itu,” jawab Fiona.
“Yah, belum ngerasain sih!” kata Cheryl.
“Ciee Cheryl! Jangan-jangan kamu lagi...,” kata Fiona yang langsung mendapat pukulan keras di pahanya.
“Ihh Fio! Kan kita ngomongin kamu tadi. Kenapa sampe aku?” pukul Cheryl lebih keras. Yang dipukul hanya bisa tertawa dan mengaduh-aduh.

“Fi, menurutmu, Marco itu gimana?” tanya Klara suatu hari saat mereka berdua benar-benar menjadi sepasang makhluk yang tersisa di kelas. Ketigapuluh anak yang lain sedang menikmati istirahat dua puluh menit yang sangat berharga itu.
“Marco? Baik, asik, care,” jawab Fiona.
“Aku pengen ngomong, tapi kamu kudu ndengerin, nggak boleh mutus, dan nggak boleh marah,” kata Klara.
“Apaan, Kla?” tanya Fiona.
“Kamu nyadar nggak? Selama kamu pedekate sama Evan, kamu sering kehabisan uang jajan?” tanya Klara.
“Nggak. Emang dari dulu uang jajanku ngepas gitu kok,” jawab Fiona.
“Siapa bilang? Dulu kamu selalu bayar uang kas kelas tepat waktu. Sekarang selalu ngulur-ngulur dengan alasan nggak punya uang. Trus berapa banyak makanan yang kamu udah beliin buat Evan? Apa kamu nggak sadar kalo Evan cuma manfaatin uangmu? Nggak, Fi, dengerin dulu,” kata Klara saat melihat gelagat Fiona yang hendak memotong omongannya. “Aku tau Evan itu ganteng, pinter, tinggi, pemain basket. Tapi apa gunanya  semua itu kalo dia cuma mau manfaatin kamu aja? Kamu yang rugi!”
“Kla, kamu salah! Evan nggak kayak gitu. Dia baik, dia suka ngebantu aku kalo aku nggak bisa di pelajaran, dia ngajarin banyak hal ke aku!” protes Fiona.
“Jatuh cinta emang buta, Fi. Kamu cuma bisa membanggakan dia tanpa ngeliat sisi negatifnya. Coba kamu lihat, Kak Marco selalu ada nungguin kamu, dengerin setiap cerita kamu,” kata Klara mencoba menyadarkan Fiona.
“Kamu nggak ngerti Kla, gimana rasanya bahagia saat aku merasakan ada seseorang yang ngerti aku lebih dari siapapun! Udah, ini masalah cintaku. Urusin diri kamu sendiri yang katanya suka sama Theo tapi sampe sekarang nggak pernah bisa jadian! Dan tolong jangan sangkutin Marco, karena aku tau, kamu sebagai sepupunya tak mungkin tidak memihak dia!” bentak Fiona lalu ia meninggalkan kelas. Klara hanya bisa terdiam mengetahui kelakuan temannya. Ia merasa bersalah, tapi tak bisa apa-apa.
“Kla, how?” tanya Calvin ketika Calvin dan Cheryl sudah kembali ke kelas.
“Nothing. Fio malah marah sama aku,” jawab Klara.
“Yah, biarin aja lah. Nanti juga lupa sendiri. Lagian dia dikasih tau bandel gitu,” kata Cheryl menenangkan.

“Halo? Fio? Ada apa?” tanya Marco sedikit terkejut mendapati BB nya mendapat telepon masuk dari Fiona.
“Co... hiks.... Resto Papi, Co...,” jawab Fiona tesendat-sendat dan tidak menyelesaikan kalimatnya.
“Kamu posisi di mana sekarang?” tanya Marco sigap.
“Di rumah,” jawab Fiona.
“Oke, aku ke sana sekarang!”

“Kita mau ke mana, Co?” tanya Fiona ketika Marco memberikan helm padanya.
“Ke suatu tempat. You will see later,” jawab Marco penuh misteri. Fiona hanya mengangkat bahu. Ternyata Marco membawanya ke tempat awal mereka bertemu. Suasana sejuk merayapi tubuh Fiona yang berjaket dan bercelana pendek. Sambil merapatkan jaketnya, Fiona masuk ke dalam pintu masuk. Disambut oleh dua pohon berlampu hijau dan merah. Pilihan yang tepat, pikir Fiona sedikit tersenyum. Ia menyukai tempat yang begitu manis ini. Memasuki pintu lift putih yang manis, mereka menuju lantai 3 yang romantis.
“Co, maaf ngerepotin. Di tempat ini jadi tenang banget. Kamu tau banget ya kalo aku suka ke sini,” kata Fiona membuka percakapan setelah memesan makanan.
“Nggak papa, Fi. Santai aja,” kata Marco sambil tersenyum.
“Aku juga nggak tau kenapa kepikiran buat telepon kamu tadi. Aku sama Klara lagi musuhan soalnya, jadi yah aku nggak bisa cerita ke dia. Tanganku usil menelusuri kontak dan memencet tombol hijau pada namamu,” kata Fiona memulai ceritanya.
“Lanjut aja, Fi. Kamu boleh cerita apapun padaku,” kata Marco kembali tersenyum. Senyum hangat yang menguatkan dan menghibur.
“Resto Papi yang ada di Semawis kebakaran, Co. Papi memulai membuka Resto ini udah 4 tahun yang lalu sejak beliau di PHK. Dengan gigih, Papi membangun Resto dari nol, Co. Usaha Papi mulai membuahkan hasil di awal tahun ini. Tapi, cobaan datang dan Resto Papi kini habis sama sekali,” cerita Fiona dengan mata yang berkaca-kaca.
“Fi, setiap orang pasti pernah mendapat masalah. Ada yang besar ada yang kecil. Tapi di setiap masalah itu, pasti Tuhan ingin mendekatkan umatNya supaya lebih dekat lagi dan tidak melupakanNya,” kata Marco menghibur Fiona.
“Kadang aku juga berpikir di setiap masalah pasti ada hikmahnya. Tapi aku ngerasa masalah kali ini berat banget. Aku pernah berpikir, jangan-jangan Tuhan itu nggak ada. Dia ngijinin cobaan segini berat terjadi dalam hidupku. Dia nggak bantuin aku supaya cobaan ini nggak datang ke aku,” kata Fiona putus asa.
“Nggak boleh gitu dong, Fi. Kamu cuma nggak bisa menebak jalan pikiran Tuhan. Siapa tau, setelah ini, akan ada hal spektakuler. Just wait the time. All things are beautiful in His time. Tetep bersyukur, kamu masih bisa makan kan? Seenggaknya, pasti masih ada uang buat kehidupanmu selanjutnya,” kata Marco mencoba menguatkan.
“Iya ya? Makasih ya, Co udah buat aku sadar. Kalo nggak ada kamu, mungkin aku udah putus asa banget,” kata Fiona berterimakasih.
“Sama-sama. Kalo ada masalah, cerita lagi aja nggak papa. Glad to help you....”

“Fi, ya ampun. Ini kabar yang berat banget buat kamu. Tapi kamu harus terima kenyataan ini daripada kamu dibohongi,” Calvin tiba-tiba menelepon Fiona.
“Apaan sih?” tanya Fiona.
“Aku lagi mall, liat Evan jalan berdua sama Sharon anak 10 G,” jawab Calvin.
“Hah? Serius? Ini pasti akal-akalanmu lagi biar aku nggak pacaran sama dia kan?” tanya Fiona sinis.
“Beneran tau! Ini aku kirim fotonya.” Tidak sampai semenit kemudian, BB Torch Fiona berbunyi menandakan BBM masuk.
“Fi, kamu nggak papa kan?” tanya Calvin ketika Fiona nggak kedengeran lagi suaranya.
“Nggak, Vin. Aku nggak papa. Aku cuma pengen sendiri. Makasih atas infonya,” jawab Fiona.
“Kau tau, masih ada aku, Cheryl, dan Klara yang siap membantumu.”

PLAK!
“Jelasin ke aku, apa maksud foto ini!” perintah Fiona penuh amarah setelah sebelumnya ia menampar pipi Evan.
“Resto Papi kamu udah kebakaran kan? So, udah jelas kan kenapa aku jalan sama Sharon?” tanya Evan santai.
“Jadi selama ini, kamu cuma manfaatin uang aku gitu?” tanya Fiona sambil menggenggam tangannya karena jengkel.
“Kamu belum tau? Ya ampun Sayang, kamu polos banget sih? Kalo aku pacaran sama orang nggak punya, makan apa aku nanti?” tanya Evan balik. Fiona hanya bisa menggeram meninggalkan Evan yang terbahak-bahak.

“Udah lah, Fi. Kamu mau nangis sampe kapan?” hibur Klara. Sejak Fiona putus dengan Evan, orang kedua yang dihubunginya adalah Klara, untuk meminta maaf atas perbuatannya dulu. Orang pertama? Tentu saja Marco. Siapa lagi kalau bukan cowok besar penyabar itu?
“Iya, Fi. Nggak usah disesalin gitu lah. Harusnya kamu bersyukur gitu, harta kamu nggak terkuras lebih banyak gara-gara dia,” kata Cheryl.
“Tapi aku terlanjur cinta, Cher!” protes Fiona sambil mengambil tisu lagi.
“Vi, nggak baik ah nangis mulu. Jelek ntar!” kata Calvin.
“Kamu sama Calvin aja sana, Fi. Dia perhatian gitu kok!” saran Cheryl ngawur.
“Enak aja! Aku emang wedokan. Tapi ya jangan nyodorin seenaknya sendiri ke Fio gitu dong,” protes Calvin sambil memukul Cheryl. Dalam bahasa Jawa, wedokan berarti deket sama cewek-cewek. Bukan ganjen, tapi emang seperti itulah Calvin.
Lain ketiga sahabatnya, lain lagi Marco. Mereka sama-sama berusaha ngehibur sih, tapi beda caranya. Kalau bersama ketiga sahabatnya, akhirnya mereka hanya bercanda. Tapi kalau dengan Marco, mereka berdua bisa melihat masa depan. Mungkin inikah yang disebut dengan ‘witing tresna jalaran saka kulina’ yang dibilang Cheryl waktu itu? Yang pasti, Fiona merasa nyaman bersama Marco.

Malam berikutnya Marco mengajak Fiona candlelight. Mereka berdua memilih tempat di Linds Papandayan, tempat favorit keduanya.
"Fi , ada yang mau aku omongin," kata marco sambil memegang kedua tangan Fiona yang duduk di depannya. Seketika itu juga Fiona kaget dan menatap mata Marco.
"Sebenarnya aku suka kamu dari pertama kita bertemu. Dari pertama aku ngliat kamu aku langsung merasakan di hatiku ada yang berbeda. Aku nyaman bersamamu, Fi. Aku sayang kamu. Bagaimana perasaanmu?" ungkap Marco.
"Aku nggak tau, Co sebenarnya tentang perasaanku. Tapi setelah sekian lama ini kita jalan aku ngerasa hatiku juga ada yang berbeda. Aku juga mulai bisa nyaman sama kamu. Mulai bisa menyesuaikan diri sama kamu. " jawab Fiona jujur.
"Aku mau tanya seusatu. Kamu mau jadi pacarku kan Fi ?" tanya Marco ragu.
Fiona pun masih bingung akan perasaannya, tapi di hati kecilnya berkata ia pasti bisa mencintai Marco.
"Ya Co , aku mau jadi pacarmu," jawab Fiona malu-malu.
Hati Marco pun bahagia dan hari itu juga mereka resmi pacaran. Fiona belajar mencintai Marco bukan karna fisik dan harta melainkan dari hati. Cintailah seseorang bukan karena dari fisik dan harta, tapi lihatlah dari hatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar