Fiona sibuk memasukkan buku-buku pelajaran ke dalam
ransel kiplingnya. Hari ini, gadis bersoftlens abu-abu itu bangun kesiangan dan
lupa menata buku-bukunya. Semalam, ia lembur untuk mengerjakan tugas-tugas yang
menumpuk.
“Fi, udah belum? Ayo berangkat! Nanti Papi telat,”
panggil Papi Fiona dari ruang makan.
“Iya, Pi. Bentar lagi,” jawab Fiona dari dalam
kamar. Terburu-buru ia mengambil jam tangan dan pita merah dari rak
aksesorisnya. Tak lupa, ia menyambar BB Torch nya dari meja belajar. Setelah
itu, segera saja ia melesat keluar dari kamar dan memasukkan kaki asal-asalan
ke dalam sepatu keds putih pink nya. Punggung kanannya menggendong ransel
kipling, tangan kirinya membawa kaos kaki dan map pink, tangan kanannya
menyambar setangkap roti bakar di meja makan setelah sebelumnya juga membawa
pita dan jam tangan. Benar-benar bukan pemandangan yang enak dilihat.
“Fio, Papi udah bilang kan berkali-kali, kamu itu
harus bisa bangun pagi setiap hari. Jalanan di Semarang tambah macet tiap
harinya,” kata Papi Fiona ketika ia sudah di mobil.
“Fhio semawem kwetiduhran abish lhembuhr tuwgash,”
kata Fiona dengan mulut yang penuh roti. Di tengan kesibukannya mengunyah,
Fiona masih bisa menjawab pertanyaan Papinya sambil memakai jam tangan dan
pitanya. Benar-benar hebat gadis ini.
“FIO! Jangan makan sambil ngomong gitu dong. Jorok
ih,” seru Papi Fiona.
“Lagian Papi ngajak ngomong waktu Fio lagi makan,”
jawab Fiona. Gadis itu sudah selesai makan dan sedang memakai kaus kakinya.
Setelah semua pekerjaannya beres, Fiona mengambil BB nya dari kantong roknya dan
membalas BBM yang masuk.
“Fio!” panggil Evan ketika melihat Fiona di kantin.
“Hei, Van!” jawab Fiona sambil berjalan ke arah
Evan.
“Fi, kamu nggak makan?” tanya Klara sahabatnya.
Selain Klara, masih ada 2 sahabatnya yang lain yang ikut ke kantin.
“Nggak usah, kalian aja sana cari makan,” jawab Fio
mulai duduk di depan Evan yang lagi makan bakso.
“Yaudah, tinggal ya, Fi! Ntar kalo kami mau naik,
kamu aku ajak,” kata Cheryl.
“Ciyee, ada Evan langsung nggak laper nih, tadi aja
ribut pengen makan,” goda Calvin sambil berbisik kepada Fiona. Wajah Fiona pun
langsung berubah warna jadi merah.
“Fi, Cher, Vin, kalian bertiga harus dateng ke ultah
sweetku!” kata Marlene sambil membagikan undangan sweetnya. Marlene adalah
kakak dari Klara.
“Aku nggak, Kak?” tanya Klara.
“Ngapain kamu aku kasih undangan, heh? Pasti kamu
dateng lah!” jawab Marlene.
“Kapan Lin?” tanya Calvin.
“Sabtu depan. Bisa kan?” jawab Marlene. Yang lain
mengangguk-angguk tanda setuju.
“Terutama kamu, Fi! Ada yang mau kenalan sama kamu,”
kata Marlene lagi. Lalu ia pergi meninggalkan Fiona, Klara, Cheryl, dan Calvin
yang terbengong-bengong.
“Ciyeh, Fio.... Ada fans nih!” goda Cheryl.
“Diem, ah!” protes Fiona.
“Nanti Evan ada saingannya tuh!” tambah Calvin.
“Udah, udah. Kasian tuh Fiona ngambek,” lerai Klara.
Pukul 05.30, Sabtu...
“Cher, aku kurang apa?” tanya Fiona pada Cheryl yang
saat ini ada di rumahnya untuk berangkat bersama ke sweet Marlene.
“Kurang cantik,” jawab Cheryl sekenanya. Cheryl
sedang sibuk mengkriting rambutnya sehingga ia tidak melihat Fiona.
“Cheryl ih! Serius tau!” pukul Fiona pada bahu
Cheryl.
“Bentar, aku lagi curly. Diem dulu!” perintah
Cheryl.
“Iya, iya!” akhirnya Fiona hanya bisa diam sambil
bermain BB nya, membalas semua BBM yang masuk.
“Fi, berangkat yuk! Astaga, kamu cantik banget, Fi!”
seru Cheryl begitu melihat Fiona. Fiona terbalut dalam gaun kemben pendek
berwarna merah muda dan ada aksesoris pita hitam di belakang gaunnya. Heels
senada yang digunakannya semakin menunjukkan bahwa ia sedang tumbuh dewasa.
Rambut panjangnya dihiasi dengan kepangan yang dibuat bando. Make up yang soft
dan natural membuatnya terlihat lebih segar.
“Makasih, Cher! You look so elegant, too. Ayo
berangkat!” puji Fiona. Lain Fiona, lain Cheryl. Gadis bermata sipit itu
mengganti kacamata beningnya dengan softlens coklat. Berbalut gaun turtleneck
coklat putih selutut, Cheryl memakai wedges warna kulit. Rambut yang ia curly,
diberi aksesoris bando berpita hitam. Make up yang dewasa, nampak pada
wajahnya.
Kedua gadis yang sudah siap “perang” itu segera
masuk ke Innova abu-abu milik Fiona. Diantar sopir Fiona mereka berdua melaju
ke Linds Papandayan.
“Waw, Fi. Aku belum pernah lihat tempat seindah
ini!” seru Cheryl kagum. Pemandangan lantai satu dari restoran itu sangat mengejutkan.
Bulan Desember ini, ruangan di lantai satu didesain sedemikian rupa supaya
menggambarkan suasana natal. Dua pohon yang berhias lampu-lampu hijau dan
merah, terlihat menakjubkan. Setiap meja memiliki lilin yang menyala, menambah
kesan romantis pada tempat ini. Piring-piring porselen menghiasi dinding di
atas kasir, bahkan ada 2 tumpuk ban mobil yang atasnya diberi kaca sebagai
meja. Uniknya semua desain mewah yang ada pada tempat ini malah menunjukkan
suasana jaman dahulu.
“Permisi, sweet seventeen Marlene?” tanya Fiona pada
pelayan yang ada di situ.
“Langsung naik lift ke lantai 3 ya!” jawab pelayan
itu.
“Makasih.”
“Fi! Ini lift nya? Ya ampun, keren banget, didesain
kayak gua gini,” komentar Cheryl saat mereka berdua sudah ada di dalam lift
berpintu putih.
“Udah ah, Cher. Diem, malu-maluin kamu komentar
mulu,” kata Fiona.
“Habis gimana, indah banget gini tempatnya,” kata
Cheryl.
Ting! Pintu lift terbuka. Cheryl benar-benar merasa
kagum di lantai 3 ini. Standing party yang diadakan Marlene benar-benar memilih
tempat yang tepat. Lantai 3 ini didesain balkon yang berhias lampion-lampion
merah di atapnya. Angin semilir berhembus dengan lembut membuat Cheryl
benar-benar terlena. Sangat indah, batinnya. Cheryl memang ingin menjadi penata
ruang ketika besar nanti, maka dari itu, ia sangat terkagum-kagum pada
pendesain ruangan ini.
“Marlene, happy birthday!” seru Fiona sambil memeluk
Marlene.
“Happy birthday, Sayang!” gantian Cheryl yang
memeluk Marlene.
“Terimakasih, teman-teman. Hei, mana Calvin?” tanya
Marlene.
“Dia sedang di dalam lift katanya,” jawab Cheryl
sambil memencet-mencet BB Onyx 2 nya. Tidak sampai satu menit, Calvin keluar
dari lift dan langsung menuju ke arah Marlene sambil tersenyum lebar.
“Happy birthday, Girls! You look so gorgeous this night,”
kata Calvin sambil menyalami Marlene.
“Thanks, Man. You, too,” jawab Marlene.
“Kak, ini ada kado dari kami berempat. Hope you like
it,” kata Klara yang tadi menghilang untuk mengambil kado besar yang ia
sembunyikan.
“Ohh, thanks! Aku ke sana dulu, ya teman! Fi, ikut
aku!” pamit Marlene sambil mengandeng Fiona menghampiri seorang cowok tinggi
yang berkulit sawo matang.
“Marco, ini Fiona. Fi, kenalin sepupu aku, Marco,”
kata Marlene memperkenalkan keduanya.
“Fiona.”
“Marco.”
“Oh ada Silvia! Aku ke sana dulu ya, teman!” kata
Marlene sambil mengedipkan matanya ke arah Marco.
“Jadi, kamu Fiona?” tanya Marco.
“Iya. Dan kamu adalah orang yang ingin berkenalan
denganku?” tanya Fiona balik.
“Haha! Kau benar. Kelas berapa?” tanya Marco ingin
tahu.
“Baru kelas 10. Kamu sendiri?”
“Kelas 12. Seangkatan sama Marlene.”
Obrolan-obrolan kecil antara Fiona dan Marco semakin
mendalam. Tak ada yang sadar, ada ketiga pasang mata yang sedang mengamati
mereka berdua. Ketiga pemilik mata yang berdiri di pinggir balkon ini tampak
senang melihat Fiona akrab dengan sepupu Marlene dan Klara. Menurut mereka,
Marco jauh lebih baik daripada Evan yang suka memanfaatkan harta cewek yang
disukainya.
“Fi, siapa tuh tadi yang ngomong-ngomong mulu sama
kamu sampai kita nggak punya quality time?” tanya Cheryl pura-pura tidak tau
saat perjalanan pulang. Ia hanya ingin mendengar komentar jujur dari Fiona.
“Marco, sepupu Klara sama Marlene. Marco asik sih
orangnya, jadi bisa nyambung terus gitu,” jawab Fiona sambil mengingat-ingat
percakapannya dengan Marco tadi.
“So, pick one, Evan or Marco?” tanya Cheryl to the
point.
“Yee, nggak bisa gitu dong, Cher! Beda dong mereka
berdua,” jawab Fiona sambil menoyor kepala Cheryl.
“Lho beda apanya? Kan sama-sama cowok,” tanya Cheryl
sambil tertawa. Akhirnya mereka malah tertawa bersama selama beberapa saat.
“Cher, dengerin ya! Evan itu ganteng, pinter,
atletis. Tapi Marco? Iya tinggi, tapi nggak ganteng, sayang,” jelas Fiona
setelah mengakhiri tawanya.
“Lho, kalo jelek kenapa? Kan nyari cowok, nggak
harus lewat fisiknya,” tanya Cheryl.
“Bukan jelek, nggak ganteng!” cewek ini suka sekali
ketepatan. “Actually he’s kind, but I don’t have feel like I have feel to Evan.
Tau lah maksudku.”
“Tau nggak, Fi istilah witing tresna jalaran saka
kulina?” tanya Cheryl.
“Cinta datang karena terbiasa? Tau, Cher. Tapi aku nggak pernah percaya istilah
itu,” jawab Fiona.
“Yah, belum ngerasain sih!” kata Cheryl.
“Ciee Cheryl! Jangan-jangan kamu lagi...,” kata
Fiona yang langsung mendapat pukulan keras di pahanya.
“Ihh Fio! Kan kita ngomongin kamu tadi. Kenapa sampe
aku?” pukul Cheryl lebih keras. Yang dipukul hanya bisa tertawa dan
mengaduh-aduh.
“Fi, menurutmu, Marco itu gimana?” tanya Klara suatu
hari saat mereka berdua benar-benar menjadi sepasang makhluk yang tersisa di
kelas. Ketigapuluh anak yang lain sedang menikmati istirahat dua puluh menit
yang sangat berharga itu.
“Marco? Baik, asik, care,” jawab Fiona.
“Aku pengen ngomong, tapi kamu kudu ndengerin, nggak
boleh mutus, dan nggak boleh marah,” kata Klara.
“Apaan, Kla?” tanya Fiona.
“Kamu nyadar nggak? Selama kamu pedekate sama Evan,
kamu sering kehabisan uang jajan?” tanya Klara.
“Nggak. Emang dari dulu uang jajanku ngepas gitu
kok,” jawab Fiona.
“Siapa bilang? Dulu kamu selalu bayar uang kas kelas
tepat waktu. Sekarang selalu ngulur-ngulur dengan alasan nggak punya uang. Trus
berapa banyak makanan yang kamu udah beliin buat Evan? Apa kamu nggak sadar
kalo Evan cuma manfaatin uangmu? Nggak, Fi, dengerin dulu,” kata Klara saat
melihat gelagat Fiona yang hendak memotong omongannya. “Aku tau Evan itu ganteng,
pinter, tinggi, pemain basket. Tapi apa gunanya
semua itu kalo dia cuma mau manfaatin kamu aja? Kamu yang rugi!”
“Kla, kamu salah! Evan nggak kayak gitu. Dia baik,
dia suka ngebantu aku kalo aku nggak bisa di pelajaran, dia ngajarin banyak hal
ke aku!” protes Fiona.
“Jatuh cinta emang buta, Fi. Kamu cuma bisa
membanggakan dia tanpa ngeliat sisi negatifnya. Coba kamu lihat, Kak Marco
selalu ada nungguin kamu, dengerin setiap cerita kamu,” kata Klara mencoba
menyadarkan Fiona.
“Kamu nggak ngerti Kla, gimana rasanya bahagia saat
aku merasakan ada seseorang yang ngerti aku lebih dari siapapun! Udah, ini
masalah cintaku. Urusin diri kamu sendiri yang katanya suka sama Theo tapi
sampe sekarang nggak pernah bisa jadian! Dan tolong jangan sangkutin Marco, karena
aku tau, kamu sebagai sepupunya tak mungkin tidak memihak dia!” bentak Fiona
lalu ia meninggalkan kelas. Klara hanya bisa terdiam mengetahui kelakuan
temannya. Ia merasa bersalah, tapi tak bisa apa-apa.
“Kla, how?” tanya Calvin ketika Calvin dan Cheryl sudah
kembali ke kelas.
“Nothing. Fio malah marah sama aku,” jawab Klara.
“Yah, biarin aja lah. Nanti juga lupa sendiri.
Lagian dia dikasih tau bandel gitu,” kata Cheryl menenangkan.
“Halo? Fio? Ada apa?” tanya Marco sedikit terkejut
mendapati BB nya mendapat telepon masuk dari Fiona.
“Co... hiks.... Resto Papi, Co...,” jawab Fiona
tesendat-sendat dan tidak menyelesaikan kalimatnya.
“Kamu posisi di mana sekarang?” tanya Marco sigap.
“Di rumah,” jawab Fiona.
“Oke, aku ke sana sekarang!”
“Kita mau ke mana, Co?” tanya Fiona ketika Marco
memberikan helm padanya.
“Ke suatu tempat. You will see later,” jawab Marco
penuh misteri. Fiona hanya mengangkat bahu. Ternyata Marco membawanya ke tempat
awal mereka bertemu. Suasana sejuk merayapi tubuh Fiona yang berjaket dan
bercelana pendek. Sambil merapatkan jaketnya, Fiona masuk ke dalam pintu masuk.
Disambut oleh dua pohon berlampu hijau dan merah. Pilihan yang tepat, pikir
Fiona sedikit tersenyum. Ia menyukai tempat yang begitu manis ini. Memasuki
pintu lift putih yang manis, mereka menuju lantai 3 yang romantis.
“Co, maaf ngerepotin. Di tempat ini jadi tenang
banget. Kamu tau banget ya kalo aku suka ke sini,” kata Fiona membuka
percakapan setelah memesan makanan.
“Nggak papa, Fi. Santai aja,” kata Marco sambil
tersenyum.
“Aku juga nggak tau kenapa kepikiran buat telepon
kamu tadi. Aku sama Klara lagi musuhan soalnya, jadi yah aku nggak bisa cerita
ke dia. Tanganku usil menelusuri kontak dan memencet tombol hijau pada namamu,”
kata Fiona memulai ceritanya.
“Lanjut aja, Fi. Kamu boleh cerita apapun padaku,”
kata Marco kembali tersenyum. Senyum hangat yang menguatkan dan menghibur.
“Resto Papi yang ada di Semawis kebakaran, Co. Papi
memulai membuka Resto ini udah 4 tahun yang lalu sejak beliau di PHK. Dengan
gigih, Papi membangun Resto dari nol, Co. Usaha Papi mulai membuahkan hasil di
awal tahun ini. Tapi, cobaan datang dan Resto Papi kini habis sama sekali,”
cerita Fiona dengan mata yang berkaca-kaca.
“Fi, setiap orang pasti pernah mendapat masalah. Ada
yang besar ada yang kecil. Tapi di setiap masalah itu, pasti Tuhan ingin
mendekatkan umatNya supaya lebih dekat lagi dan tidak melupakanNya,” kata Marco
menghibur Fiona.
“Kadang aku juga berpikir di setiap masalah pasti
ada hikmahnya. Tapi aku ngerasa masalah kali ini berat banget. Aku pernah
berpikir, jangan-jangan Tuhan itu nggak ada. Dia ngijinin cobaan segini berat
terjadi dalam hidupku. Dia nggak bantuin aku supaya cobaan ini nggak datang ke
aku,” kata Fiona putus asa.
“Nggak boleh gitu dong, Fi. Kamu cuma nggak bisa menebak
jalan pikiran Tuhan. Siapa tau, setelah ini, akan ada hal spektakuler. Just
wait the time. All things are beautiful in His time. Tetep bersyukur, kamu
masih bisa makan kan? Seenggaknya, pasti masih ada uang buat kehidupanmu
selanjutnya,” kata Marco mencoba menguatkan.
“Iya ya? Makasih ya, Co udah buat aku sadar. Kalo
nggak ada kamu, mungkin aku udah putus asa banget,” kata Fiona berterimakasih.
“Sama-sama. Kalo ada masalah, cerita lagi aja nggak
papa. Glad to help you....”
“Fi, ya ampun. Ini kabar yang berat banget buat
kamu. Tapi kamu harus terima kenyataan ini daripada kamu dibohongi,” Calvin
tiba-tiba menelepon Fiona.
“Apaan sih?” tanya Fiona.
“Aku lagi mall, liat Evan jalan berdua sama Sharon
anak 10 G,” jawab Calvin.
“Hah? Serius? Ini pasti akal-akalanmu lagi biar aku
nggak pacaran sama dia kan?” tanya Fiona sinis.
“Beneran tau! Ini aku kirim fotonya.” Tidak sampai
semenit kemudian, BB Torch Fiona berbunyi menandakan BBM masuk.
“Fi, kamu nggak papa kan?” tanya Calvin ketika Fiona
nggak kedengeran lagi suaranya.
“Nggak, Vin. Aku nggak papa. Aku cuma pengen
sendiri. Makasih atas infonya,” jawab Fiona.
“Kau tau, masih ada aku, Cheryl, dan Klara yang siap
membantumu.”
PLAK!
“Jelasin ke aku, apa maksud foto ini!” perintah
Fiona penuh amarah setelah sebelumnya ia menampar pipi Evan.
“Resto Papi kamu udah kebakaran kan? So, udah jelas
kan kenapa aku jalan sama Sharon?” tanya Evan santai.
“Jadi selama ini, kamu cuma manfaatin uang aku
gitu?” tanya Fiona sambil menggenggam tangannya karena jengkel.
“Kamu belum tau? Ya ampun Sayang, kamu polos banget
sih? Kalo aku pacaran sama orang nggak punya, makan apa aku nanti?” tanya Evan
balik. Fiona hanya bisa menggeram meninggalkan Evan yang terbahak-bahak.
“Udah lah, Fi. Kamu mau nangis sampe kapan?” hibur
Klara. Sejak Fiona putus dengan Evan, orang kedua yang dihubunginya adalah
Klara, untuk meminta maaf atas perbuatannya dulu. Orang pertama? Tentu saja
Marco. Siapa lagi kalau bukan cowok besar penyabar itu?
“Iya, Fi. Nggak usah disesalin gitu lah. Harusnya
kamu bersyukur gitu, harta kamu nggak terkuras lebih banyak gara-gara dia,”
kata Cheryl.
“Tapi aku terlanjur cinta, Cher!” protes Fiona
sambil mengambil tisu lagi.
“Vi, nggak baik ah nangis mulu. Jelek ntar!” kata
Calvin.
“Kamu sama Calvin aja sana, Fi. Dia perhatian gitu
kok!” saran Cheryl ngawur.
“Enak aja! Aku emang wedokan. Tapi ya jangan
nyodorin seenaknya sendiri ke Fio gitu dong,” protes Calvin sambil memukul
Cheryl. Dalam bahasa Jawa, wedokan berarti deket sama cewek-cewek. Bukan
ganjen, tapi emang seperti itulah Calvin.
Lain ketiga sahabatnya, lain lagi Marco. Mereka
sama-sama berusaha ngehibur sih, tapi beda caranya. Kalau bersama ketiga
sahabatnya, akhirnya mereka hanya bercanda. Tapi kalau dengan Marco, mereka
berdua bisa melihat masa depan. Mungkin inikah yang disebut dengan ‘witing
tresna jalaran saka kulina’ yang dibilang Cheryl waktu itu? Yang pasti, Fiona
merasa nyaman bersama Marco.
Malam berikutnya Marco mengajak Fiona candlelight.
Mereka berdua memilih tempat di Linds Papandayan, tempat favorit keduanya.
"Fi , ada yang mau aku omongin," kata
marco sambil memegang kedua tangan Fiona yang duduk di depannya. Seketika itu
juga Fiona kaget dan menatap mata Marco.
"Sebenarnya aku suka kamu dari pertama kita
bertemu. Dari pertama aku ngliat kamu aku langsung merasakan di hatiku ada yang
berbeda. Aku nyaman bersamamu, Fi. Aku sayang kamu. Bagaimana perasaanmu?"
ungkap Marco.
"Aku nggak tau, Co sebenarnya tentang
perasaanku. Tapi setelah sekian lama ini kita jalan aku ngerasa hatiku juga ada
yang berbeda. Aku juga mulai bisa nyaman sama kamu. Mulai bisa menyesuaikan
diri sama kamu. " jawab Fiona jujur.
"Aku mau tanya seusatu. Kamu mau jadi pacarku
kan Fi ?" tanya Marco ragu.
Fiona pun masih bingung akan perasaannya, tapi di
hati kecilnya berkata ia pasti bisa mencintai Marco.
"Ya Co , aku mau jadi pacarmu," jawab
Fiona malu-malu.
Hati Marco pun bahagia dan hari itu juga mereka
resmi pacaran. Fiona belajar mencintai Marco bukan karna fisik dan harta
melainkan dari hati. Cintailah seseorang bukan karena dari fisik dan harta,
tapi lihatlah dari hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar