“Sya, kalo kelas
11 kita nggak sekelas gimana?” dalam kamar kos nya, Valen ribut sendiri,
sementara Lisya malah sibuk memasukkan pakaian-pakaian Valen ke dalam koper
besar Valen.
“Udahlah, Len,
gitu aja diributin. Kita nggak sekelas kan masih bisa ketemuan, ngobrol, bbm.
Kalo kamu nggak sekelas sama aku, kan bukan berarti hidupmu berakhir,” jawab Lisya
santai.
“Tapi kan aneh
gitu, kalo aku nggak sekelas sama kamu. Bakal kangen banget sama kamu. Aku
takut nggak punya temen,” kata Valen mulai mengeluarkan baju-bajunya yang
sudah di pack Lisya.
“Len, denger ya,
yang harusnya takut nggak punya temen itu aku, bukan kamu. Temen kamu itu
segepok, Valen sayang. You are popular!” nasihat Lisya.
“Yah, kan aku
udah nyaman sama kamu,” kata Valen benar-benar mengeluarkan semua baju yang
sudah di pack oleh Lisya.
“Kita harus bisa
keluar dari zona nyaman dong. Di dunia ini, nggak cuma kita berdua yang perlu
survive. Kita semua survive bareng-bareng,” kata Lisya lagi. “Udah ah Len, aku
pulang aja. Susah-susah ngerapiin baju kamu satu-satu ke dalam koper, akhirnya
kamu keluarin lagi.”
“Yah Lisya,
jangan marah dong,” Valen tidak berhasil menahan Lisya untuk tidak pulang dulu
sebelum selesai membantu Valen packing.
Valen dan Lisya.
Langit dan bumi. Beda banget. Valen panikan, Lisya kalem. Valen nggak bisa
mengunci mulutnya, Lisya nggak akan pernah bicara kalo nggak diajak omong
duluan. Valen terbuka, Lisya misterius. Awalnya bener-bener nggak ada yang sama
dari mereka, sampai suatu saat ada satu hal yang membuat mereka sama.
“Sya, kita nggak
sekelas,” Valen tiba-tiba menelepon Lisya yang lagi sibuk ngurusin online shop
nya.
“Eh emang udah
keluar pengumumannya?” tanya Lisya sambil mengerutkan keningnya.
“Masa
kamu nggak cari tau sama sekali? Bentar, aku kirimin foto daftar anak di
kelasmu ke bbm mu,” jawab Valen kemudian mematikan teleponnya. Lisya mengambil androidnya,
membuka bbm dari Lisya, membalasnya sebentar, dan meletakkan kembali
androidnya, kemudian melanjutkan mengurus online shop nya.
Hari
pertama sekolah Valen malah menyuruh Lisya menjemputnya menggunakan sepeda
motornya. Valen tak peduli seberapa dekat kos nya dengan sekolahnya, yang jelas
ia tak mau ciripa di hari pertama kelas 11 ini. Di jalan, Valen ribut sendiri
masalah teman-teman sekelasnya yang menurutnya kuper-kuper dan membosankan,
keinginannya masuk ke kelas Valen yang anak-anaknya lebih gaul, keinginannya
sekelas dengan Lisya, dan lain-lain. Lisya hanya tersenyum sambil memarkir
motornya kemudian meninggalkan Valen yang masih ribut sendiri tentang kelasnya.
11
IPA 2, kelas Lisya, mulai penuh seiring dengan berjalannya jam mendekati waktu
masuk. Di hari pertama sekolah di kelas yang baru ini, hanya akan ada absensi
dari wali kelas, membereskan beberapa administrasi, dan mengambil buku pelajaran.
Banyak anak kelas 11 dan 12 yang menjadi panitia MOS sehingga sekolah
dipulangkan agak pagi. Kebetulan, Lisya dan Valen bukan panitia MOS sehingga
mereka berdua pulang jam 9. Setelah bel pulang berbunyi, Lisya mampir ke kelas Valen,
11 IPA 1, untuk mengajaknya pergi.
Baru
hari pertama, Valen sudah tampak akrab dengan Yosie, salah satu anak kelasnya,
si pararel 1. Valen, Valen, gitu ngapain
tadi pagi ribut sendiri? Batin Lisya. Yang dibatin ini entah nggak sadar
atau pura-pura nggak sadar sedang ditunggu oleh teman dekatnya di depan pintu
kelasnya, malah asyik mengobrol di kelas. Lisya akhirnya masuk ke kelas Valen
dan duduk di depannya, tapi Valen tetap menghiraukannya.
“Len,
ditungguin Lisya tuh, pulang sana,” kata Yosie.
“Biarin
aja, aku nggak mau pulang sama Lisya. Dia aja tadi ninggalin aku,” kata Valen.
“Yuk, Yos, pergi dari sini.”
Valen lagi marah nih. Batin Lisya
sembari menaikkan ujung bibir kanannya. Yosie melirik Lisya sambil mengangkat
bahu tanda tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti Valen.
“Yaudah,
aku tadinya sih mau ajak kamu makan pizza, tapi kalo kamu ternyata ada acara,
ya aku nggak enak kalo ganggu kamu,” kata Lisya meninggalkan kelas.
“Eh,
Yos, nggak jadi nonton MOS ya, kasihan Lisya ntar tambah galau gara-gara makan
sendirian. Besok besok lagi aja nontonnya, I swear,” Valen pamit pada Yosie
yang hanya bisa bengong gara-gara ditinggal.
“Lisya,
aku ikut!” Valen mengejar Lisya. Lisya yang tau bahwa Valen pasti mengejarnya
kembali, hanya menahan tawa sambil membalikkan badannya ke arah Valen.
“Lho,
kamu kan ada acara sama Yosie. Kok malah ngikut aku? Kasihan tuh dia kamu
tinggal sendiri,” kata Lisya sambil menganggukan kepalanya ke arah Yosie.
“Nggak
jadi kok. Cuma mau nonton MOS, besok masih bisa. Ayok pergi,” ajak Valen sambil
menyeret tangan Lisya.
“Ya
kalo Yosie marah, aku nggak ikut-ikut yah,” kata Lisya sambil mengangkat
bahunya.
“Nggak
nggak, dia nggak bisa marah, tenang aja. Aku mau cerita banyak nih tentang
kelasku. Nanti aja yah sambil nunggu pizza nya dateng,” kata Valen. Lisya
paling bisa bujuk Valen kalo lagi marah. Asal ada pizza, Valen pasti batal marah.
Keesokan
paginya…
“Lisya?”
panggil seorang cowok bertubuh tinggi dan Lisya yakin dia juga sixpack.
“Ya?”
jawab Lisya.
“Kamu
sekelas sama aku kan? Jalan bareng aja ya,” ajak Ronald.
“Oh,
boleh. Kamu Ronald kan?” Lisya memastikan.
“Iya.
By the way, kamu nanti nonton MOS?” tanya Ronald.
“Mungkin.
Aku kemarin nggak nonton, rencana sih nanti mau nonton,” jawab Lisya.
“Ohhh.
Nonton sendirian?” tanya Ronald lagi.
“Kalo
nggak sama Valen, aku nggak nonton sih. Kenapa, Nald?” Lisya balik bertanya.
“Nggak,
aku cuma mau ajak kamu nonton bareng aja kalo nggak punya temen. Kebetulan, aku
juga nggak ada temen nonton. Tapi, kalo kamu bareng temenmu, ya aku cari
temen lain aja,” jawab Ronald panjang lebar.
“Kapten
basket, masa nggak ada temen nonton? Bohong banget ah,” kata Lisya sambil
membuka pintu kelasnya dan membiarkan Ronald ternganga kaget sendirian, tidak
menyangka jawaban dari Lisya akan sepedas itu.
Sepulang
sekolah, Lisya mencoba menelepon Valen. Beberapa kali nggak diangkat, begitu
diangkat, Valen malah bilang dia nggak bisa nemenin Lisya nonton dan akan
menelepon Lisya lagi malam hari nanti. Lisya hanya menggumam kesal pada telepon
yang langsung diputus searah oleh Valen. Tanpa ia sadari, sedari tadi Lisya
sedang diamati oleh seseorang yang kini mendekat ke arahnya.
“Sya,
mana temenmu?” tanya Ronald.
“Tau
tuh, malah nggak jadi nonton. Ada acara katanya,” jawab Lisya apa adanya.
“Yaudah,
aku temenin kamu nonton ya? Darilada kamu sendirian di sini,” kata Ronald sambil
duduk di sebelah Lisya.
“Boleh
deh,” balas Lisya tersenyum kecil. “Kamu ini emang nggak ada temen nonton, atau
sengaja nggak nyari temen nonton?”
“Hmm…
nggak penting lah itu. Pokoknya aku ada di sini, nemenin kamu biar nggak sendiri,” jawab Ronald.
“Penting
tau, segala sesuatu harus ada sebab akibatnya,” kata Lisya sok menggurui.
“Yaudah,
anggep aja aku udah mencari temen, tapi nggak dapet. Jadi kita sama-sama sendirian. Orang kalo sendirian itu biasanya bosen. Nah dari pada bosen sendiri-sendiri, ngelamun nggak jelas, mending 2 orang itu bergabung
kan?” jelas Ronald.
“Hahaha,
oke lah, boleh juga argumenmu. Ternyata kamu nggak sesombong dan segaring yang
aku kira,” kata Lisya.
“Eh,
kamu harus tau ya, kapten basket di sini, udah ramah, baik, nggak sombong, suka
menolong, humoris, tampan lagi,” kata Ronald tidak terima.
“Weeee,
bohong bangettt. Nggak jadi dipuji deh,” balas Lisya sambil pura-pura ingin
muntah.
“Nggak
bisa gitu dong, masa nelen ludah sendiri?” tanya Ronald sambil menjulurkan
lidahnya.
“ANAK-ANAK
KELAS 10 SEGERA MENUJU KE LAPANGAN BOLA DALAM 10 HITUNGAN, TIDAK BOLEH ADA YANG
TERLAMBAT. 10…, 9…, 8…,” tiba-tiba terdengar suara ketua OSIS menggunakan
mikrofon memanggil para peserta MOS.
“Tuh,
udah mau mulai MOS nya. Lihat aja yuk!” kata Lisya.
“Ikut
aku aja yuk, Sya!” ajak Ronald tiba-tiba sambil menarik tangan Lisya untuk
bangkit berdiri.
“Eh,
ke mana? MOS nya mau mulai tuh!” tanya Lisya sambil buru-buru meraih tasnya.
“Udah,
ikut aja. Aku males nonton, bosen banget, kemarin sih kamu nggak liat seberapa
bosennya aku nonton ini,” jawab Ronald.
“Ya
tapi nggak usah nyeret-nyeret dong, aku bisa jalan sendiri,” Lisya berhenti sambil
melihat tangannya yang masih dipegang Ronald.
“Ohh,
maaf,” Ronald melepaskan pegangannya pada tangan Lisya.
“Kita
mau ke mana?” tanya Lisya sambil terus berjalan mengikuti Ronald menuju
parkiran mobil.
“Ehmm,
ikut ke mobilku ya, Sya. Aku bakal bawa kamu ke suatu tempat yang kamu pasti
suka,” Ronald membukakan pintu mobilnya untuk Lisya.
“Aman?”
tanya Lisya, nggak yakin untuk masuk ke mobil Jazz putih itu.
“Aman
dong, aku nggak gigit. Udah masuk sana,” jawab Ronald sambil mendorong Lisya
untuk masuk ke mobilnya. Lisya jadi bergidik membayangkan Ronald “menggigit”.
Akhirnya
Ronald membawa Lisya ke suatu restoran kecil yang nggak tenar, murah, tapi
desain dan menu makanannya nggak kalah bagus dari restoran ternama yang
harganya buat orang merinding. Nggak cukup dengan itu, Ronald membawa Lisya ke
pantai yang pemandangannya nggak bisa digambarkan dengan kata-kata. Lisya sama
sekali nggak nyangka bahwa Ronald orang yang friendly dan penuh kejutan. Bahkan
karena ada Ronald di sebelah Lisya, Lisya jadi melupakan kekesalannya tadi
siang karena Valen tiba-tiba meninggalkannya. Lisya jadi terbuka dan cerewet
jika bersama Ronald. Sepertinya, Ronald adalah orang kedua yang bisa membuatnya
bicara tanpa henti setelah Valen.
Tak
disangka, keesokan paginya, Ronald membuat heboh seisi rumah Lisya.
Ronald datang ke rumah Lisya buat ajak dia ke sekolah bareng. Tak ada alasan
untuk menghindar, akhirnya Lisya pun ikut Ronald berangkat ke sekolah. Ketika
turun dari mobil, Ronald dan Lisya menjadi pusat perhatian. Jarang-jarang sang
kapten basket ini membawa seorang cewek turun dari mobilnya. Begitu mau masuk
ke kelas, Lisya melihat Valen ada di depan pintu kelasnya.
“Sya,
aku mau ngomong dulu,” kata Valen mencegah Lisya masuk ke kelas.
“Memang.
Aku juga mau ngomong sama kamu,” jawab Lisya sedikit pedas. Kemarin malam
memang Valen tidak menelepon Lisya.
“Sori
Sya, Papa kemarin masuk rumah sakit, aku pulang sekolah langsung balik ke
Jepara, malemnya juga baru balik lagi ke Semarang, di jalan aku tidur soalnya
kecapean. Lagian bateraiku juga habis, nggak bisa telepon,” jelas Valen.
“Eh,
Om Valdi sakit apa?” tanya Lisya khawatir.
“Sakit
jantungnya kumat. Sori banget lho Sya,” jawab Valen.
“Nggak
papa kali, Len. Sori juga aku juga udah berpikir yang nggak bener tentang kamu.
Habis kamunya nggak ngasih aku kabar,” kata Lisya. “Get well soon ya for your
Daddy.”
“Thankyou,”
kata Valen berterima kasih. “Aku balik kelas dulu ya, belum buat PR Sejarah
nih.”
Hari
demi hari terlewati. Valen dan Lisya sudah nggak sedekat dulu lagi karena
perbedaan kelas menyebabkan mereka memiliki aktivitas yang berbeda pula. Valen
juga sudah memiliki teman-teman baru, demikian pula Lisya yang makin akrab
dengan Ronald. Suatu hari, Valen dan Lisya sepakat untuk menghabiskan waktu
berdua saja di restoran pizza terbaru.
“Wah,
ternyata kamu sangat menikmati kelas barumu ya Len,” kata Lisya menghentikan
tawanya mendengar cerita Valen mengenai teman-teman sekelasnya yang kocak.
“Iya
nih, Sya. Thankyou ya. Aku bisa survive di kelas juga karena dukunganmu dulu,”
kata Valen berterimakasih.
“Ya
jangan say thankyou sama aku dong. Itu kan memang kamunya aja yang cepet
membaurnya,” kata Lisya.
“Lha
kamu sendiri, di kelas gimana? Denger-denger kamu lagi deket sama kapten basket
ya?” tanya Valen.
“Ohh
Ronald? Bisa dibilang, temenku di kelas cuma dia. Aku susah nyambung sama
temen-temenku yang sekarang,” jawab Lisya.
“Itu
pasti karena kamunya yang belum terbiasa, Sya. Kamu pasti bisa kok berbaur sama
yang lain. Semangat Lisya!” kata Valen menyemangati. “Tapi kamu sama Ronald?”
“Apa?”
tanya Lisya tidak paham. Entah kenapa, jantung Lisya berdegup sedikit lebih
kencang dan menjalarkan perasaan hangat ke seluruh tubuhya. Membicarakan Ronald
selalu menimbulkan suatu sensasi di hati Lisya.
“Seriusan
nggak ada apa-apa, Sya?” tanya Valen.
“Ohh
hahaha. Nggak sih, Len. Kita cuma temenan biasa aja,” jawab Lisya.
“Tapi
kalian sering bareng,” kata Valen.
“Ya
kita kan emang sering curhat bareng, belajar bareng juga…,”
“Sampai
pulang pergi bareng. Ya kan, Sya?” Valen tiba-tiba memutus pembicaraan Lisya.
“Dari
mana kamu tau?” Lisya mengerutkan kening.
“Udah
jadi rahasia umum kali, Sya. Banyak banget yang bilang kalian backstreet,”
terang Valen.
“Dan
kamu percaya sama gosip-gosip itu? Aku ini temenmu, Len. Kalo aku ada apa-apa,
aku pasti cerita sama kamu lah. Kenapa kamu malah percaya sama kata orang
lain?” tanya Lisya kecewa.
“Nggak
gitu, Sya. Aku hanya mencari kebenarannya. Aku pengen tau kebenarannya dari
kamu sendiri,” jawab Valen.
“Kalo
kamu sampe nggak percaya sama aku, aku kecewa banget,” kata Lisya.
“Nggak
lah, Sya. Kamu itu orang yang paling aku percaya setelah keluargaku,” kata
Valen menenangkan.
“Kamu
sendiri gimana? Lagi deket sama siapa?” tanya Lisya mengalihkan pembicaraan.
“Ahh
itu. Aku belum siap cerita. Nanti kalo udah siap, aku pasti cerita. Aku sedang
prepare buat cerita. Nanti ya, abis pertandingan basket,” jawab Valen.
“Wah,
berarti cowok beruntung itu anak basket nih?” tanya Lisya.
“Ya
gitu lah,” jawab Valen sambil tersipu malu.
Tes…
Tes… Tes… Bress…. Tiba-tiba saja awan menumpahkan seluruh emosinya ke dalam
bentuk air mata awan. Tanpa aba-aba dan pemberitahuan sebelumnya, hujan yang
sangat deras dan tiba-tiba itu membasahi kota di mana Valen lahir, kota yang
sama dengan kota SMA nya sekarang.
Siang
yang sebelumnya terik itu, menyebabkan Valen malas pulang ke kosnya, memilih
menyendiri di suatu lapangan basket outdoor di dekat kompleks kos-kosannya.
Valen benar-benar bosan dengan kehidupannya di sekolah yang tak jauh dari les,
belajar, membuat tugas, dan ulangan. Valen merasa, selama ini ia meracuni
otaknya dengan atom, gaya, statistika, aljabar, dan lain sebagainya. Bukan
maunya berada di kelas IPA karena cita-cita utamanya adalah sebagai desainer.
Ketika
sedang melamun, menikmati langit siang, tanpa disangka, hujan mengguyur
tubuhnya. Valen tersadar dari lamunannya ketika tiba-tiba saja, seorang cowok
yang tadi ikut bermain basket di lapangan outdoor itu, mendatangi dirinya dan
memayunginya dengan sebuah payung yang tak cukup besar untuk berdua.
“Minggir
yuk. Hujannya tambah deres nih,” ajak cowok itu pada Valen yang hanya bisa
melongo.
“Kamu
Valen ya?” tanya cowok itu sembari menutup payungnya ketika sudah berada di
tempat yang aman dari hujan.
“Iya.
Kok bisa kenal aku?” tanya Valen balik.
“Lisya
sering banget cerita tentang kamu,” jawab cowok itu. Dia… Ronald.
“Ohh.
Kamu deket banget sama Lisya ya?” tanya Valen lagi.
“Iya.
Dia orang yang paling bisa aku ajak tukar pendapat,” jawab Ronald menerawang.
“Emang Lisya nggak pernah cerita tentang aku?”
“Pernah
kok. Kan sekarang kita udah jarang bisa ketemu. Tapi setiap ketemu, Lisya
selalu cerita tentang kebaikanmu. Thankyou ya, Nald udah mau jadi temen Lisya,”
kata Valen panjang lebar.
“Kok?”
“Iya,
soalnya Lisya itu susah buat cari temen baru. Dia kan anaknya pendiam kalo
belum kenal deket. Makanya aku cukup heran sekaligus berterimakasih sama kamu
yang udah mau jadi temen bicaranya Lisya.”
Pertandingan
basket hari pertama, Valen mengajak Lisya nonton. Tapi Lisya malah sibuk di
rumah mengerjakan tugas Inggrisnya. Akhirnya, Valen nonton pertandingan basket
bersama teman-teman kosnya. Mengorbankan waktu tidak menonton pertandingan
basket, Lisya masih juga belum selesai mengerjakan tugas Inggris segunung itu.
“Ronald,
tugas Inggrismu udah selesai belum?” tanya Lisya sambil menuju ke tempat
duduknya dan Ronald. Pagi itu, Lisya memang berangkat sendirian. Sudah menjadi
kesepakatannya dengan Ronald, saat ada pertandingan basket, Ronald tidak akan
mengantar jemput Lisya. Tapi, pagi itu, Ronald tidak menjawab pertanyaan Lisya.
Menoleh pun tidak.
“Nald?
Kamu kenapa sih? Serius nih, masih banyak, belum selesai. Jawab dong,” Lisya
menggoncangkan tangan Ronald yang ada di atas meja. Ronald menepiskan tangan
Lisya.
“Hari
pertama aku main dan kamu nggak datang? Temen macem apa kamu?” kata Ronald
pelan tapi dengan nada menusuk. Lisya kaget banget tiba-tiba Ronald marah-marah
gitu.
“Nald,
kamu tau sendiri kan? Aku nggak nonton basket aja tugasku nggak selesai. Gimana
kalo aku nonton? Aku janji deh, nanti aku nonton,” kata Lisya membela diri.
“Kamu
nggak dateng kemarin trus bilang mau nonton hari ini? Telat, Sya! SMA kita udah
kalah,” balas Ronald sengit.
“Hah?
Kalah? Kok bisa?” tanya Lisya kaget.
“Udahlah.
Kamu ke mana aja sih seminggu? Nggak ngerjain sama sekali? Aku aja selesai
sebelum kemarin,” kata Ronald melunak. Ia mengeluarkan tugasnya dari dalam tas
dan menyerahkannya pada Lisya.
“Thankyou,
Nald. Sori banget kemarin nggak nonton. Nanti pulang sekolah makan sama aku
deh, aku yang traktir,” kata Lisya sebelum tenggelam dalam tugas Inggrisnya.
“Deal.”
Esok
siangnya, gantian Valen yang mengajak Lisya pergi ke kosnya. Gimana mau tugas-tugasku selesai kalau
setiap pulang sekolah aku diajak main sana-sini? Batin Lisya.
“Sya,
tujuanku ngajak kamu ke sini adalah untuk membayar hutangku padamu,” kata Valen
saat ia dan Lisya memasuki pintu depan kosnya.
“Hah?
Kamu hutang uang sama aku berapa?” tanya Lisya tak paham.
“Kamu
pasti ingat kan? Aku bakal cerita ke kamu, aku lagi suka sama siapa. And this
is it! Pertandingan basket sudah selesai sehingga aku bisa nunjukin ke kamu aku
suka sama siapa sekaligus minta tolong,” jawab Valen.
“Minta
tolong apaan lagi?” tanya Lisya.
“Okeey,
kamu boleh masuk ke kamarku sekarang,” Valen membuka pintu kamar kosnya.
“Pergilah ke meja belajarku. Foto cowok yang kamu lihat tergantung di sana,
adalah orang yang aku suka.”
Penasaran,
Lisya segera menuju ke meja belajar Valen dan melihat foto cowok itu. Lisya
terkesiap. Dia sama sekali nggak nyangka sahabatnya ini lagi suka sama
seseorang yang memang selalu mengisi harinya. Orang itu Ronald. Lama, batin
Lisya saling berpendapat. Jadi ini
mengapa Valen menyuruhku membantunya? Untuk mendekatkannya pada Ronald yang
notabene adalah sahabat terbaikku. Tuhan, kenapa harus Ronald? Ronald yang
mungkin mulai mengisi hatiku.
“Jadi,
Sya? Bisa aku minta tolong kamu deketin aku sama dia? Kamu kan orang yang
paling deket sama dia,” tanya Valen.
“Nggak
janji deh, Len,” jawab Lisya.
“Kenapa?
Dia udah punya pacar?” tanya Valen.
“Nggak
sih setauku, tapi siapa tau dia udah suka sama orang lain?” jawab Lisya.
“Ah
Lisya, hati kan masih bisa berubah. Tolong bantu ya? Pleasee,” mohon Valen.
Lisya hanya termenung. Kalau dia membantu Valen, dirinya akan tersakiti, tapi
kalau dia nggak membantu Valen? Valen bakal nggak mau jadi temennya. Jadi…
“Ya
udah deh, Len. Semampuku ya,” kata Lisya menyetujui usul Valen sambil
tersenyum. Senyum perih yang disamarkan menjadi senyum kecil tanda bahagia.
“Ah
Lisya, mungkin kamu nggak menyadarinya. Tapi buat aku, Ronald itu tampan
banget. Udah gitu, dia baikkkk banget. Gimana nggak meleleh coba kalau ada di
dekat dia?” Valen bercerita betapa dirinya sangat mengagumi Ronald pada Lisya.
Kamu cerita pada orang yang salah, Len. Aku
juga tau Ronald itu tampan dan baik. Aku tau senyumnya padaku selalu membuatku
tak ingin menyia-nyiakan waktu untuk marah padanya. Aku juga tau kalau dia
selalu menceritakan apapun padaku. Aku tau kalau Ronald itu paling suka makan
sayur buat menjaga kesehatan tubuhnya. Aku juga tau kalau Ronald nggak suka
sama rokok dan dia selalu berusaha menyadarkan teman-temannya yang merokok.
Batin Lisya itu akhirnya hanya menjadi sepatah kalimat tanya pada Valen.
“Berapa
lama kamu suka sama Ronald, Len?”
“Sejak
kamu mulai deket sama dia,” jawab Valen. Gosh!
Batin Lisya. Sudah cukup lama. Berarti
saat Valen tanya sama aku…
“Berarti
saat kamu tanya sama aku masalah hubunganku dengan Ronald?”
“Bener,
Sya. Aku udah suka sama Ronald waktu itu dan ingin memastikan apakah kamu udah
pacaran sama dia. Dan ternyata kamu bilang kalau kamu nggak ada hubungan
apa-apa sama Ronald. Aku kan nggak mau kita sampai suka sama orang yang sama.
Dari dulu kita kan selalu berbeda,” jawab Valen. Lagi-lagi kamu salah, Len. Kita suka orang yang sama. Batin Lisya lagi. Cuma, bodohya aku nggak pernah menyadari
akan hal ini sebelumnya sehingga tidak terjadi penyesalan seperti ini.
“Len,
kalau misalnya, aku nggak berhasil menjodohkan kamu dan Ronald?”
“Ya
nggak papa kali, Sya. Kamu kan udah berusaha. Itu yang paling penting,” jawab
Valen tersenyum manis. Oh Tuhan, apa yang
harus aku lakukan? Aku nggak mau menyakiti sahabatku ini, senyumannya
bener-bener tulus. Tapi haruskah aku menyakiti diriku sendiri?
“Valen,
aku pulang dulu, ya? Masih banyak tugas nih,” akhirnya Lisya pamitan pada
Valen. Di rumahnya, ia terus berpikir apa yang harus ia lakukan besok ketika
bertemu dengan Ronald. Lisya ingat, Ronald mengajaknya makan siang besok.
Haruskah ia mengajak Valen ikut serta?
Dalam
setiap kesempatan, Lisya selalu berusaha mengikutsertakan Valen dalam setiap
kegiatannya bersama Ronald. Lisya juga mengurangi kontak fisik dengan Ronald.
Selain itu, sekarang Lisya menyuruh Ronald mengantar jemput Valen sekalian
karena sedang musim hujan. Setelah beberapa kali mengantar jemput keduanya,
Lisya sengaja berangkat lebih pagi ke sekolah dengan sepeda motornya yang
akhir-akhir ini jarang tersentuh karena sudah ada Ronald. Di sekolah, Lisya
juga sengaja duduk berjauhan dengan Ronald. Ketika istirahat, Lisya selalu ke
kelas Valen dan mengajak Valen untuk kabur ke tempat sepi agar tidak bertemu
Ronald. Pulang sekolah pun, Lisya langsung cepat-cepat pulang untuk menghindari
Ronald akan mengejarnya. Sekarang ini, karena janjinya dengan Lisya, Ronald malah
mengantar jemput Valen tak peduli kos nya begitu dekat dengan sekolah.
Sementara itu, gosip di sekolah beredar dengan cepat. Ronald mencampakkan Lisya
dan melahap sahabat Lisya, Valen. Ketika sore, Ronald pun mencoba menghubungi
Lisya, tapi telepon dan BBM nya tak pernah mendapat respon. Ronald bahkan
mencoba datang ke rumah Lisya setiap sore, tapi pembantunya mengatakan Lisya
tidak di rumah.
Sampai
suatu ketika, Ronald benar-benar membutuhkan penjelasan dari Lisya. Dengan
sengaja, Ronald sudah sampai di rumah Lisya ketika subuh, menunggu Lisya keluar
dengan motornya. Di Kamis pagi yang dingin itu, sedikit gerimis membasahi
jalanan depan rumah Lisya, menunggu sang pemilik keluar dengan jas hujan dan Beat biru metalik nya. Tapi takdir berkata lain. Orang yang ditunggu tak
kunjung keluar. Bahkan ketika jam menunjukkan waktu di mana bel sekolah
seharusnya sudah berbunyi dan mobil orangtua Lisya sudah keluar untuk pergi
bekerja, Lisya tak juga keluar dari rumahnya. Akhirnya dengan memakai payung,
Ronald turun dan memencet bel rumah Lisya. Sang pembantu yang tak kunjung
membukakan pintu, menyebabkan Ronald heboh sendiri memencet-mencert bel rumah
Lisya. Ketika bunyi bel yang memekakan telinga itu dirasa sudah cukup membuat
seisi rumah budeg, barulah sang pembantu keluar dan membukakan pintu.
“Lisya
mana, Mbak?” tanya Ronald langsung.
“Mas
nya nyari Non Lisya kok jam segini, sudah pasti dia di sekolah dong,” jawab
sang pembantu sedikit ketus.
“Udah
Mbak nggak usah bohong. Saya sudah di sini sejak subuh tadi dan Lisya bahkan
tak kelihatan keluar dari rumah ini,” kata Ronald.
“Non
Lisya berangkat lebih subuh Mas. Sebelum Mas nya dateng,” kata sang pembantu
masih ngotot.
“Mbak,
kalo Lisya sudah di sekolah, pasti motornya ada bersamanya. Itu motornya masih
di sana,” kata Ronald sambil menunjuk ke Beat Lisya.
“Kan
tadi dia berangkat naik mobil orangtuanya,” kata pembantu ini benar-benar nggak
mau kalah.
“Mbak,
nggak usah bohong lagi. Mobil orangtua Lisya keluar tepat sebelum saya turun
dari mobil dan memencet bel rumah. Di dalamnya nggak ada Lisya,” kata Ronald.
“Tapi
Non Lisya nggak mau ketemu sama Mas nya,” kata pembantunya lagi.
“Tolonglah,
Mbak. Cuma Mbak yang bisa nolong saya ketemu sama Lisya. Saya periu banget
bicara sama Lisya,” mohon Ronald.
“Ya
udah deh Mas. Saya juga merasa Mas nya bukan orang jahat. Ke kamar Lisya
sendiri ya Mas, tau kan? Lantai 2. Lisya lagi sakit di kamarnya,” kata pembantu
Lisya.
“SAKIT?
Mbak kok nggak bilang dari tadi sih?” Ronald langsung berlari ke kamar Lisya di
lantai 2. Tanpa mengetuk pintu lagi, Ronald membuka pintu kamar Lisya.
“LISYA!
Kamu sakit?” tanya Ronald sambil menghampiri tempat tidur Lisya dan memegang
dahi Lisya. Panas.
“Ronald….”
“Kamu
udah ke dokter? Udah minum obat?” tanya Ronald lagi, khawatir.
“Belum
ke dokter, tapi Mama udah kasih obat tadi,” jawab Lisya pelan.
“Yaudah,
aku anter kamu ke dokter sekarang. Panasmu belum turun tuh,” Ronald bersiap
menggendong Lisya. Ketika tangan Ronald menyentuh punggung Lisya, Lisya hanya
bisa tersenyum kecil melihat tingkah Ronald dan menyingkirkan tangannya.
“Nggak
usah, Nald. Bentar lagi paling panasnya udah turun. Kan obatnya lagi kerja,”
kata Lisya.
“Kamu
ya, Sya. Udah tau setiap pagi hujan, kenapa masih nekad berangkat sendirian ke
sekolah, pake motor lagi,” tanya Ronald sambil duduk di kasur Lisya dan
menggenggam tangan Lisya.
“Kamu
kok khawatir banget sih? Aku kan udah besar. Aku mau latihan hidup mandiri biar
besok kalau aku kuliah, ngekos, bisa berangkat sendiri ke kampus,” jawab Lisya
sambil tersenyum.
“Tapi
kan nggak harus ngehindar dari aku kalau di sekolah,” kata Ronald lagi.
“Ahh
itu…,” Lisya tidak menyelesaikan kalimatnya.
“Aku
kangen kamu, Sya,” kata Ronald pelan, tapi kekuatan 4 kata itu justru masuk ke
dalam hati Lisya, menghangatkan seluruh ruang di hatinya. Aku juga, Nald. Batin Lisya.
“Aku
tau kamu lagi ngejodohin aku sama Valen. Ya kan?” tanya Ronald.
“Kok
kamu tau?” tanya Lisya balik.
“Valen
kemarin bilang ke aku kalo dia suka sama aku,” jawab Ronald.
“Terus?”
tanya Lisya kaget, antara ingin tau jawaban yang diberikan Ronald, tapi takut
kalau itu menyakiti hatinya.
“Ya
aku tolak lah,” jawab Ronald santai.
“Kenapa?”
tanya Lisya sedikit lega. Jawaban dari Ronald tidak menyakiti hatinya.
“Hati
nggak bisa memilih, Sya. Hati itu dipilih,” jawab Ronald sambil menerawang.
“Maksudnya?”
tanya Lisya tak mengerti. Kini Ronald memandang Lisya, mengumpulkan keberanian,
dan menatap dalam mata Lisya.
“Kalau
hatiku sih sebenarnya nggak mau hal ini terjadi. Hatiku nggak milih ini. Tapi
ternyata hati memang nggak bisa memilih. Hatiku dipilih sama kamu, Sya. Bukan
Valen yang aku suka. Tapi kamu,” jawab Ronald. Jawaban sekaligus pengakuan dari
Ronald ini cukup membuat Lisya terkejut. Namun ia merasakan hal yang sama.
“Nald….”
“Sya,
tau nggak? Aku nggak pernah sebahagia ini sebelum mengenalmu. Awalnya, aku
hanya iseng mendekatimu karena aku tau kamu itu pendiem. Eh, lama-lama, kok aku
malah bisa deket sama kamu. Dan entah sejak kapan, aku merasa kalau nggak liat
kamu sehari aja, hatiku sesak,” kata Ronald lagi panjang lebar. Lisya masih
terdiam sebelum mengatakan apa-apa.
“Aku
nggak tau kamu ngerasa apa kalau sama aku, tapi…,” akhirnya Lisya memotong
ucapan Ronald.
“Aku
merasakan hal yang sama, Ronald. Aku juga nggak tau entah sejak kapan aku mulai
ngerasa nggak nyaman kalau kamu nggak di sebelahku. Tapi, ketika Valen
menginginkanku untuk membantunya agar bisa dekat sama kamu, aku mulai menyadari
bahwa hatiku sebenarnya menolak.”
“Tapi
kamu tetap menjauh dariku. Aktingmu berhasil Alisya Katharina,” kata Ronald.
“Maaf,
Nald. Aku nggak tega menyakiti Valen. Dia orang pertama yang bisa aku percaya
di sekolah ini,” kata Lisya meminta maaf. “Sebelumnya, dia selalu berbeda
denganku. Siapa sangka Tuhan mengijinkan persamaan antara aku dan Valen terjadi
di masalah seperti ini?”
“Jadi?”
tanya Ronald.
“Valen
tau ini semua?” tanya Lisya.
“Tau.
Dia malah ngerasa bersalah banget sama kamu. Dia ngerasa kurang menjadi
pendengar yang baik. Dia bahkan melepaskan aku buat kamu,” jawab Ronald.
“Yah,
kok malah dia yang ngerasa bersalah? Kan aku yang emang nggak pernah cerita dan
terlambat menyadari semua ini,” kata Lisya.
“Sudahlah,
Sya. Yang jelas aku mau tuntut kamu karena kamu udah menghindari aku seminggu
ini,” kata Ronald sambil tersenyum.
“Masa
orang sakit dikasih tuntutan, bukannya doa?” tanya Lisya.
“Oke
Alisya Katharina, mau nggak mau, you must be mine,” jawab Ronald.
“Enak
aja, emang aku barang?” tanya Lisya. Yang ditanya hanya tersenyum sambil
memeluk Lisya.
“Get
well soon, sayang,” kata Ronald.
“Thankyou,
Nald. Aku bohong masalah aku sudah minum obat dari Mama. Aku belum minum obat
apa-apa nih. Ke dokter yuk!” ajak Lisya.
“Yah
kamu, Sya. Berani bohong sama aku ya?” tanya Ronald sambil menggendong Lisya
menuju ke mobilnya. Si Mbak pembantu Lisya hanya bisa geleng-geleng kepala
melihat majikannya yang katanya nggak mau ketemu sama “Mas Ganteng” tapi
sekarang malah gendong-gendongan.
you have a great story! keep posting ya <3
BalasHapussmoga suatu saat bisa bikin suatu karya lagi
Cheers,
RUBY and ROSA
thankyou so much say <3
Hapusaminn o:)