Senin, 27 Januari 2014

Ketika Hati Dipilih...



“Sya, kalo kelas 11 kita nggak sekelas gimana?” dalam kamar kos nya, Valen ribut sendiri, sementara Lisya malah sibuk memasukkan pakaian-pakaian Valen ke dalam koper besar Valen.
“Udahlah, Len, gitu aja diributin. Kita nggak sekelas kan masih bisa ketemuan, ngobrol, bbm. Kalo kamu nggak sekelas sama aku, kan bukan berarti hidupmu berakhir,” jawab Lisya santai.
“Tapi kan aneh gitu, kalo aku nggak sekelas sama kamu. Bakal kangen banget sama kamu. Aku takut nggak punya temen,” kata Valen mulai mengeluarkan baju-bajunya yang sudah di pack Lisya.
“Len, denger ya, yang harusnya takut nggak punya temen itu aku, bukan kamu. Temen kamu itu segepok, Valen sayang. You are popular!” nasihat Lisya.
“Yah, kan aku udah nyaman sama kamu,” kata Valen benar-benar mengeluarkan semua baju yang sudah di pack oleh Lisya.
“Kita harus bisa keluar dari zona nyaman dong. Di dunia ini, nggak cuma kita berdua yang perlu survive. Kita semua survive bareng-bareng,” kata Lisya lagi. “Udah ah Len, aku pulang aja. Susah-susah ngerapiin baju kamu satu-satu ke dalam koper, akhirnya kamu keluarin lagi.”
“Yah Lisya, jangan marah dong,” Valen tidak berhasil menahan Lisya untuk tidak pulang dulu sebelum selesai membantu Valen packing.
Valen dan Lisya. Langit dan bumi. Beda banget. Valen panikan, Lisya kalem. Valen nggak bisa mengunci mulutnya, Lisya nggak akan pernah bicara kalo nggak diajak omong duluan. Valen terbuka, Lisya misterius. Awalnya bener-bener nggak ada yang sama dari mereka, sampai suatu saat ada satu hal yang membuat mereka sama.

“Sya, kita nggak sekelas,” Valen tiba-tiba menelepon Lisya yang lagi sibuk ngurusin online shop nya.
“Eh emang udah keluar pengumumannya?” tanya Lisya sambil mengerutkan keningnya.
“Masa kamu nggak cari tau sama sekali? Bentar, aku kirimin foto daftar anak di kelasmu ke bbm mu,” jawab Valen kemudian mematikan teleponnya. Lisya mengambil androidnya, membuka bbm dari Lisya, membalasnya sebentar, dan meletakkan kembali androidnya, kemudian melanjutkan mengurus online shop nya.

Hari pertama sekolah Valen malah menyuruh Lisya menjemputnya menggunakan sepeda motornya. Valen tak peduli seberapa dekat kos nya dengan sekolahnya, yang jelas ia tak mau ciripa di hari pertama kelas 11 ini. Di jalan, Valen ribut sendiri masalah teman-teman sekelasnya yang menurutnya kuper-kuper dan membosankan, keinginannya masuk ke kelas Valen yang anak-anaknya lebih gaul, keinginannya sekelas dengan Lisya, dan lain-lain. Lisya hanya tersenyum sambil memarkir motornya kemudian meninggalkan Valen yang masih ribut sendiri tentang kelasnya.
11 IPA 2, kelas Lisya, mulai penuh seiring dengan berjalannya jam mendekati waktu masuk. Di hari pertama sekolah di kelas yang baru ini, hanya akan ada absensi dari wali kelas, membereskan beberapa administrasi, dan mengambil buku pelajaran. Banyak anak kelas 11 dan 12 yang menjadi panitia MOS sehingga sekolah dipulangkan agak pagi. Kebetulan, Lisya dan Valen bukan panitia MOS sehingga mereka berdua pulang jam 9. Setelah bel pulang berbunyi, Lisya mampir ke kelas Valen, 11 IPA 1, untuk mengajaknya pergi.
Baru hari pertama, Valen sudah tampak akrab dengan Yosie, salah satu anak kelasnya, si pararel 1. Valen, Valen, gitu ngapain tadi pagi ribut sendiri? Batin Lisya. Yang dibatin ini entah nggak sadar atau pura-pura nggak sadar sedang ditunggu oleh teman dekatnya di depan pintu kelasnya, malah asyik mengobrol di kelas. Lisya akhirnya masuk ke kelas Valen dan duduk di depannya, tapi Valen tetap menghiraukannya.
“Len, ditungguin Lisya tuh, pulang sana,” kata Yosie.
“Biarin aja, aku nggak mau pulang sama Lisya. Dia aja tadi ninggalin aku,” kata Valen. “Yuk, Yos, pergi dari sini.”
Valen lagi marah nih. Batin Lisya sembari menaikkan ujung bibir kanannya. Yosie melirik Lisya sambil mengangkat bahu tanda tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti Valen.
“Yaudah, aku tadinya sih mau ajak kamu makan pizza, tapi kalo kamu ternyata ada acara, ya aku nggak enak kalo ganggu kamu,” kata Lisya meninggalkan kelas.
“Eh, Yos, nggak jadi nonton MOS ya, kasihan Lisya ntar tambah galau gara-gara makan sendirian. Besok besok lagi aja nontonnya, I swear,” Valen pamit pada Yosie yang hanya bisa bengong gara-gara ditinggal.
“Lisya, aku ikut!” Valen mengejar Lisya. Lisya yang tau bahwa Valen pasti mengejarnya kembali, hanya menahan tawa sambil membalikkan badannya ke arah Valen.
“Lho, kamu kan ada acara sama Yosie. Kok malah ngikut aku? Kasihan tuh dia kamu tinggal sendiri,” kata Lisya sambil menganggukan kepalanya ke arah Yosie.
“Nggak jadi kok. Cuma mau nonton MOS, besok masih bisa. Ayok pergi,” ajak Valen sambil menyeret tangan Lisya.
“Ya kalo Yosie marah, aku nggak ikut-ikut yah,” kata Lisya sambil mengangkat bahunya.
“Nggak nggak, dia nggak bisa marah, tenang aja. Aku mau cerita banyak nih tentang kelasku. Nanti aja yah sambil nunggu pizza nya dateng,” kata Valen. Lisya paling bisa bujuk Valen kalo lagi marah. Asal ada pizza, Valen pasti batal marah.

Keesokan paginya…
“Lisya?” panggil seorang cowok bertubuh tinggi dan Lisya yakin dia juga sixpack.
“Ya?” jawab Lisya.
“Kamu sekelas sama aku kan? Jalan bareng aja ya,” ajak Ronald.
“Oh, boleh. Kamu Ronald kan?” Lisya memastikan.
“Iya. By the way, kamu nanti nonton MOS?” tanya Ronald.
“Mungkin. Aku kemarin nggak nonton, rencana sih nanti mau nonton,” jawab Lisya.
“Ohhh. Nonton sendirian?” tanya Ronald lagi.
“Kalo nggak sama Valen, aku nggak nonton sih. Kenapa, Nald?” Lisya balik bertanya.
“Nggak, aku cuma mau ajak kamu nonton bareng aja kalo nggak punya temen. Kebetulan, aku juga nggak ada temen nonton. Tapi, kalo kamu bareng temenmu, ya aku cari temen lain aja,” jawab Ronald panjang lebar.
“Kapten basket, masa nggak ada temen nonton? Bohong banget ah,” kata Lisya sambil membuka pintu kelasnya dan membiarkan Ronald ternganga kaget sendirian, tidak menyangka jawaban dari Lisya akan sepedas itu.

Sepulang sekolah, Lisya mencoba menelepon Valen. Beberapa kali nggak diangkat, begitu diangkat, Valen malah bilang dia nggak bisa nemenin Lisya nonton dan akan menelepon Lisya lagi malam hari nanti. Lisya hanya menggumam kesal pada telepon yang langsung diputus searah oleh Valen. Tanpa ia sadari, sedari tadi Lisya sedang diamati oleh seseorang yang kini mendekat ke arahnya.
“Sya, mana temenmu?” tanya Ronald.
“Tau tuh, malah nggak jadi nonton. Ada acara katanya,” jawab Lisya apa adanya.
“Yaudah, aku temenin kamu nonton ya? Darilada kamu sendirian di sini,” kata Ronald sambil duduk di sebelah Lisya.
“Boleh deh,” balas Lisya tersenyum kecil. “Kamu ini emang nggak ada temen nonton, atau sengaja nggak nyari temen nonton?”
“Hmm… nggak penting lah itu. Pokoknya aku ada di sini, nemenin kamu biar nggak sendiri,” jawab Ronald.
“Penting tau, segala sesuatu harus ada sebab akibatnya,” kata Lisya sok menggurui.
“Yaudah, anggep aja aku udah mencari temen, tapi nggak dapet. Jadi kita sama-sama sendirian. Orang kalo sendirian itu biasanya bosen. Nah dari pada bosen sendiri-sendiri, ngelamun nggak jelas, mending 2 orang itu bergabung kan?” jelas Ronald.
“Hahaha, oke lah, boleh juga argumenmu. Ternyata kamu nggak sesombong dan segaring yang aku kira,” kata Lisya.
“Eh, kamu harus tau ya, kapten basket di sini, udah ramah, baik, nggak sombong, suka menolong, humoris, tampan lagi,” kata Ronald tidak terima.
“Weeee, bohong bangettt. Nggak jadi dipuji deh,” balas Lisya sambil pura-pura ingin muntah.
“Nggak bisa gitu dong, masa nelen ludah sendiri?” tanya Ronald sambil menjulurkan lidahnya.
“ANAK-ANAK KELAS 10 SEGERA MENUJU KE LAPANGAN BOLA DALAM 10 HITUNGAN, TIDAK BOLEH ADA YANG TERLAMBAT. 10…, 9…, 8…,” tiba-tiba terdengar suara ketua OSIS menggunakan mikrofon memanggil para peserta MOS.
“Tuh, udah mau mulai MOS nya. Lihat aja yuk!” kata Lisya.
“Ikut aku aja yuk, Sya!” ajak Ronald tiba-tiba sambil menarik tangan Lisya untuk bangkit berdiri.
“Eh, ke mana? MOS nya mau mulai tuh!” tanya Lisya sambil buru-buru meraih tasnya.
“Udah, ikut aja. Aku males nonton, bosen banget, kemarin sih kamu nggak liat seberapa bosennya aku nonton ini,” jawab Ronald.
“Ya tapi nggak usah nyeret-nyeret dong, aku bisa jalan sendiri,” Lisya berhenti sambil melihat tangannya yang masih dipegang Ronald.
“Ohh, maaf,” Ronald melepaskan pegangannya pada tangan Lisya.
“Kita mau ke mana?” tanya Lisya sambil terus berjalan mengikuti Ronald menuju parkiran mobil.
“Ehmm, ikut ke mobilku ya, Sya. Aku bakal bawa kamu ke suatu tempat yang kamu pasti suka,” Ronald membukakan pintu mobilnya untuk Lisya.
“Aman?” tanya Lisya, nggak yakin untuk masuk ke mobil Jazz putih itu.
“Aman dong, aku nggak gigit. Udah masuk sana,” jawab Ronald sambil mendorong Lisya untuk masuk ke mobilnya. Lisya jadi bergidik membayangkan Ronald “menggigit”.
Akhirnya Ronald membawa Lisya ke suatu restoran kecil yang nggak tenar, murah, tapi desain dan menu makanannya nggak kalah bagus dari restoran ternama yang harganya buat orang merinding. Nggak cukup dengan itu, Ronald membawa Lisya ke pantai yang pemandangannya nggak bisa digambarkan dengan kata-kata. Lisya sama sekali nggak nyangka bahwa Ronald orang yang friendly dan penuh kejutan. Bahkan karena ada Ronald di sebelah Lisya, Lisya jadi melupakan kekesalannya tadi siang karena Valen tiba-tiba meninggalkannya. Lisya jadi terbuka dan cerewet jika bersama Ronald. Sepertinya, Ronald adalah orang kedua yang bisa membuatnya bicara tanpa henti setelah Valen.

Tak disangka, keesokan paginya, Ronald membuat heboh seisi rumah Lisya. Ronald datang ke rumah Lisya buat ajak dia ke sekolah bareng. Tak ada alasan untuk menghindar, akhirnya Lisya pun ikut Ronald berangkat ke sekolah. Ketika turun dari mobil, Ronald dan Lisya menjadi pusat perhatian. Jarang-jarang sang kapten basket ini membawa seorang cewek turun dari mobilnya. Begitu mau masuk ke kelas, Lisya melihat Valen ada di depan pintu kelasnya.
“Sya, aku mau ngomong dulu,” kata Valen mencegah Lisya masuk ke kelas.
“Memang. Aku juga mau ngomong sama kamu,” jawab Lisya sedikit pedas. Kemarin malam memang Valen tidak menelepon Lisya.
“Sori Sya, Papa kemarin masuk rumah sakit, aku pulang sekolah langsung balik ke Jepara, malemnya juga baru balik lagi ke Semarang, di jalan aku tidur soalnya kecapean. Lagian bateraiku juga habis, nggak bisa telepon,” jelas Valen.
“Eh, Om Valdi sakit apa?” tanya Lisya khawatir.
“Sakit jantungnya kumat. Sori banget lho Sya,” jawab Valen.
“Nggak papa kali, Len. Sori juga aku juga udah berpikir yang nggak bener tentang kamu. Habis kamunya nggak ngasih aku kabar,” kata Lisya. “Get well soon ya for your Daddy.”
Thankyou,” kata Valen berterima kasih. “Aku balik kelas dulu ya, belum buat PR Sejarah nih.”

Hari demi hari terlewati. Valen dan Lisya sudah nggak sedekat dulu lagi karena perbedaan kelas menyebabkan mereka memiliki aktivitas yang berbeda pula. Valen juga sudah memiliki teman-teman baru, demikian pula Lisya yang makin akrab dengan Ronald. Suatu hari, Valen dan Lisya sepakat untuk menghabiskan waktu berdua saja di restoran pizza terbaru.
“Wah, ternyata kamu sangat menikmati kelas barumu ya Len,” kata Lisya menghentikan tawanya mendengar cerita Valen mengenai teman-teman sekelasnya yang kocak.
“Iya nih, Sya. Thankyou ya. Aku bisa survive di kelas juga karena dukunganmu dulu,” kata Valen berterimakasih.
“Ya jangan say thankyou sama aku dong. Itu kan memang kamunya aja yang cepet membaurnya,” kata Lisya.
“Lha kamu sendiri, di kelas gimana? Denger-denger kamu lagi deket sama kapten basket ya?” tanya Valen.
“Ohh Ronald? Bisa dibilang, temenku di kelas cuma dia. Aku susah nyambung sama temen-temenku yang sekarang,” jawab Lisya.
“Itu pasti karena kamunya yang belum terbiasa, Sya. Kamu pasti bisa kok berbaur sama yang lain. Semangat Lisya!” kata Valen menyemangati. “Tapi kamu sama Ronald?”
“Apa?” tanya Lisya tidak paham. Entah kenapa, jantung Lisya berdegup sedikit lebih kencang dan menjalarkan perasaan hangat ke seluruh tubuhya. Membicarakan Ronald selalu menimbulkan suatu sensasi di hati Lisya.
“Seriusan nggak ada apa-apa, Sya?” tanya Valen.
“Ohh hahaha. Nggak sih, Len. Kita cuma temenan biasa aja,” jawab Lisya.
“Tapi kalian sering bareng,” kata Valen.
“Ya kita kan emang sering curhat bareng, belajar bareng juga…,”
“Sampai pulang pergi bareng. Ya kan, Sya?” Valen tiba-tiba memutus pembicaraan Lisya.
“Dari mana kamu tau?” Lisya mengerutkan kening.
“Udah jadi rahasia umum kali, Sya. Banyak banget yang bilang kalian backstreet,” terang Valen.
“Dan kamu percaya sama gosip-gosip itu? Aku ini temenmu, Len. Kalo aku ada apa-apa, aku pasti cerita sama kamu lah. Kenapa kamu malah percaya sama kata orang lain?” tanya Lisya kecewa.
“Nggak gitu, Sya. Aku hanya mencari kebenarannya. Aku pengen tau kebenarannya dari kamu sendiri,” jawab Valen.
“Kalo kamu sampe nggak percaya sama aku, aku kecewa banget,” kata Lisya.
“Nggak lah, Sya. Kamu itu orang yang paling aku percaya setelah keluargaku,” kata Valen menenangkan.
“Kamu sendiri gimana? Lagi deket sama siapa?” tanya Lisya mengalihkan pembicaraan.
“Ahh itu. Aku belum siap cerita. Nanti kalo udah siap, aku pasti cerita. Aku sedang prepare buat cerita. Nanti ya, abis pertandingan basket,” jawab Valen.
“Wah, berarti cowok beruntung itu anak basket nih?” tanya Lisya.
“Ya gitu lah,” jawab Valen sambil tersipu malu.

Tes… Tes… Tes… Bress…. Tiba-tiba saja awan menumpahkan seluruh emosinya ke dalam bentuk air mata awan. Tanpa aba-aba dan pemberitahuan sebelumnya, hujan yang sangat deras dan tiba-tiba itu membasahi kota di mana Valen lahir, kota yang sama dengan kota SMA nya sekarang.
Siang yang sebelumnya terik itu, menyebabkan Valen malas pulang ke kosnya, memilih menyendiri di suatu lapangan basket outdoor di dekat kompleks kos-kosannya. Valen benar-benar bosan dengan kehidupannya di sekolah yang tak jauh dari les, belajar, membuat tugas, dan ulangan. Valen merasa, selama ini ia meracuni otaknya dengan atom, gaya, statistika, aljabar, dan lain sebagainya. Bukan maunya berada di kelas IPA karena cita-cita utamanya adalah sebagai desainer.
Ketika sedang melamun, menikmati langit siang, tanpa disangka, hujan mengguyur tubuhnya. Valen tersadar dari lamunannya ketika tiba-tiba saja, seorang cowok yang tadi ikut bermain basket di lapangan outdoor itu, mendatangi dirinya dan memayunginya dengan sebuah payung yang tak cukup besar untuk berdua.
“Minggir yuk. Hujannya tambah deres nih,” ajak cowok itu pada Valen yang hanya bisa melongo.
“Kamu Valen ya?” tanya cowok itu sembari menutup payungnya ketika sudah berada di tempat yang aman dari hujan.
“Iya. Kok bisa kenal aku?” tanya Valen balik.
“Lisya sering banget cerita tentang kamu,” jawab cowok itu. Dia… Ronald.
“Ohh. Kamu deket banget sama Lisya ya?” tanya Valen lagi.
“Iya. Dia orang yang paling bisa aku ajak tukar pendapat,” jawab Ronald menerawang. “Emang Lisya nggak pernah cerita tentang aku?”
“Pernah kok. Kan sekarang kita udah jarang bisa ketemu. Tapi setiap ketemu, Lisya selalu cerita tentang kebaikanmu. Thankyou ya, Nald udah mau jadi temen Lisya,” kata Valen panjang lebar.
“Kok?”
“Iya, soalnya Lisya itu susah buat cari temen baru. Dia kan anaknya pendiam kalo belum kenal deket. Makanya aku cukup heran sekaligus berterimakasih sama kamu yang udah mau jadi temen bicaranya Lisya.”

Pertandingan basket hari pertama, Valen mengajak Lisya nonton. Tapi Lisya malah sibuk di rumah mengerjakan tugas Inggrisnya. Akhirnya, Valen nonton pertandingan basket bersama teman-teman kosnya. Mengorbankan waktu tidak menonton pertandingan basket, Lisya masih juga belum selesai mengerjakan tugas Inggris segunung itu.
“Ronald, tugas Inggrismu udah selesai belum?” tanya Lisya sambil menuju ke tempat duduknya dan Ronald. Pagi itu, Lisya memang berangkat sendirian. Sudah menjadi kesepakatannya dengan Ronald, saat ada pertandingan basket, Ronald tidak akan mengantar jemput Lisya. Tapi, pagi itu, Ronald tidak menjawab pertanyaan Lisya. Menoleh pun tidak.
“Nald? Kamu kenapa sih? Serius nih, masih banyak, belum selesai. Jawab dong,” Lisya menggoncangkan tangan Ronald yang ada di atas meja. Ronald menepiskan tangan Lisya.
“Hari pertama aku main dan kamu nggak datang? Temen macem apa kamu?” kata Ronald pelan tapi dengan nada menusuk. Lisya kaget banget tiba-tiba Ronald marah-marah gitu.
“Nald, kamu tau sendiri kan? Aku nggak nonton basket aja tugasku nggak selesai. Gimana kalo aku nonton? Aku janji deh, nanti aku nonton,” kata Lisya membela diri.
“Kamu nggak dateng kemarin trus bilang mau nonton hari ini? Telat, Sya! SMA kita udah kalah,” balas Ronald sengit.
“Hah? Kalah? Kok bisa?” tanya Lisya kaget.
“Udahlah. Kamu ke mana aja sih seminggu? Nggak ngerjain sama sekali? Aku aja selesai sebelum kemarin,” kata Ronald melunak. Ia mengeluarkan tugasnya dari dalam tas dan menyerahkannya pada Lisya.
Thankyou, Nald. Sori banget kemarin nggak nonton. Nanti pulang sekolah makan sama aku deh, aku yang traktir,” kata Lisya sebelum tenggelam dalam tugas Inggrisnya.
Deal.”

Esok siangnya, gantian Valen yang mengajak Lisya pergi ke kosnya. Gimana mau tugas-tugasku selesai kalau setiap pulang sekolah aku diajak main sana-sini? Batin Lisya.
“Sya, tujuanku ngajak kamu ke sini adalah untuk membayar hutangku padamu,” kata Valen saat ia dan Lisya memasuki pintu depan kosnya.
“Hah? Kamu hutang uang sama aku berapa?” tanya Lisya tak paham.
“Kamu pasti ingat kan? Aku bakal cerita ke kamu, aku lagi suka sama siapa. And this is it! Pertandingan basket sudah selesai sehingga aku bisa nunjukin ke kamu aku suka sama siapa sekaligus minta tolong,” jawab Valen.
“Minta tolong apaan lagi?” tanya Lisya.
“Okeey, kamu boleh masuk ke kamarku sekarang,” Valen membuka pintu kamar kosnya. “Pergilah ke meja belajarku. Foto cowok yang kamu lihat tergantung di sana, adalah orang yang aku suka.”
Penasaran, Lisya segera menuju ke meja belajar Valen dan melihat foto cowok itu. Lisya terkesiap. Dia sama sekali nggak nyangka sahabatnya ini lagi suka sama seseorang yang memang selalu mengisi harinya. Orang itu Ronald. Lama, batin Lisya saling berpendapat. Jadi ini mengapa Valen menyuruhku membantunya? Untuk mendekatkannya pada Ronald yang notabene adalah sahabat terbaikku. Tuhan, kenapa harus Ronald? Ronald yang mungkin mulai mengisi hatiku.
“Jadi, Sya? Bisa aku minta tolong kamu deketin aku sama dia? Kamu kan orang yang paling deket sama dia,” tanya Valen.
“Nggak janji deh, Len,” jawab Lisya.
“Kenapa? Dia udah punya pacar?” tanya Valen.
“Nggak sih setauku, tapi siapa tau dia udah suka sama orang lain?” jawab Lisya.
“Ah Lisya, hati kan masih bisa berubah. Tolong bantu ya? Pleasee,” mohon Valen. Lisya hanya termenung. Kalau dia membantu Valen, dirinya akan tersakiti, tapi kalau dia nggak membantu Valen? Valen bakal nggak mau jadi temennya. Jadi…
“Ya udah deh, Len. Semampuku ya,” kata Lisya menyetujui usul Valen sambil tersenyum. Senyum perih yang disamarkan menjadi senyum kecil tanda bahagia.
“Ah Lisya, mungkin kamu nggak menyadarinya. Tapi buat aku, Ronald itu tampan banget. Udah gitu, dia baikkkk banget. Gimana nggak meleleh coba kalau ada di dekat dia?” Valen bercerita betapa dirinya sangat mengagumi Ronald pada Lisya.
Kamu cerita pada orang yang salah, Len. Aku juga tau Ronald itu tampan dan baik. Aku tau senyumnya padaku selalu membuatku tak ingin menyia-nyiakan waktu untuk marah padanya. Aku juga tau kalau dia selalu menceritakan apapun padaku. Aku tau kalau Ronald itu paling suka makan sayur buat menjaga kesehatan tubuhnya. Aku juga tau kalau Ronald nggak suka sama rokok dan dia selalu berusaha menyadarkan teman-temannya yang merokok. Batin Lisya itu akhirnya hanya menjadi sepatah kalimat tanya pada Valen.
“Berapa lama kamu suka sama Ronald, Len?”
“Sejak kamu mulai deket sama dia,” jawab Valen. Gosh! Batin Lisya. Sudah cukup lama. Berarti saat Valen tanya sama aku…
“Berarti saat kamu tanya sama aku masalah hubunganku dengan Ronald?”
“Bener, Sya. Aku udah suka sama Ronald waktu itu dan ingin memastikan apakah kamu udah pacaran sama dia. Dan ternyata kamu bilang kalau kamu nggak ada hubungan apa-apa sama Ronald. Aku kan nggak mau kita sampai suka sama orang yang sama. Dari dulu kita kan selalu berbeda,” jawab Valen. Lagi-lagi kamu salah, Len. Kita suka orang yang sama. Batin Lisya lagi. Cuma, bodohya aku nggak pernah menyadari akan hal ini sebelumnya sehingga tidak terjadi penyesalan seperti ini.
“Len, kalau misalnya, aku nggak berhasil menjodohkan kamu dan Ronald?”
“Ya nggak papa kali, Sya. Kamu kan udah berusaha. Itu yang paling penting,” jawab Valen tersenyum manis. Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Aku nggak mau menyakiti sahabatku ini, senyumannya bener-bener tulus. Tapi haruskah aku menyakiti diriku sendiri?
“Valen, aku pulang dulu, ya? Masih banyak tugas nih,” akhirnya Lisya pamitan pada Valen. Di rumahnya, ia terus berpikir apa yang harus ia lakukan besok ketika bertemu dengan Ronald. Lisya ingat, Ronald mengajaknya makan siang besok. Haruskah ia mengajak Valen ikut serta?

Dalam setiap kesempatan, Lisya selalu berusaha mengikutsertakan Valen dalam setiap kegiatannya bersama Ronald. Lisya juga mengurangi kontak fisik dengan Ronald. Selain itu, sekarang Lisya menyuruh Ronald mengantar jemput Valen sekalian karena sedang musim hujan. Setelah beberapa kali mengantar jemput keduanya, Lisya sengaja berangkat lebih pagi ke sekolah dengan sepeda motornya yang akhir-akhir ini jarang tersentuh karena sudah ada Ronald. Di sekolah, Lisya juga sengaja duduk berjauhan dengan Ronald. Ketika istirahat, Lisya selalu ke kelas Valen dan mengajak Valen untuk kabur ke tempat sepi agar tidak bertemu Ronald. Pulang sekolah pun, Lisya langsung cepat-cepat pulang untuk menghindari Ronald akan mengejarnya. Sekarang ini, karena janjinya dengan Lisya, Ronald malah mengantar jemput Valen tak peduli kos nya begitu dekat dengan sekolah. Sementara itu, gosip di sekolah beredar dengan cepat. Ronald mencampakkan Lisya dan melahap sahabat Lisya, Valen. Ketika sore, Ronald pun mencoba menghubungi Lisya, tapi telepon dan BBM nya tak pernah mendapat respon. Ronald bahkan mencoba datang ke rumah Lisya setiap sore, tapi pembantunya mengatakan Lisya tidak di rumah.
Sampai suatu ketika, Ronald benar-benar membutuhkan penjelasan dari Lisya. Dengan sengaja, Ronald sudah sampai di rumah Lisya ketika subuh, menunggu Lisya keluar dengan motornya. Di Kamis pagi yang dingin itu, sedikit gerimis membasahi jalanan depan rumah Lisya, menunggu sang pemilik keluar dengan jas hujan dan Beat biru metalik nya. Tapi takdir berkata lain. Orang yang ditunggu tak kunjung keluar. Bahkan ketika jam menunjukkan waktu di mana bel sekolah seharusnya sudah berbunyi dan mobil orangtua Lisya sudah keluar untuk pergi bekerja, Lisya tak juga keluar dari rumahnya. Akhirnya dengan memakai payung, Ronald turun dan memencet bel rumah Lisya. Sang pembantu yang tak kunjung membukakan pintu, menyebabkan Ronald heboh sendiri memencet-mencert bel rumah Lisya. Ketika bunyi bel yang memekakan telinga itu dirasa sudah cukup membuat seisi rumah budeg, barulah sang pembantu keluar dan membukakan pintu.
“Lisya mana, Mbak?” tanya Ronald langsung.
“Mas nya nyari Non Lisya kok jam segini, sudah pasti dia di sekolah dong,” jawab sang pembantu sedikit ketus.
“Udah Mbak nggak usah bohong. Saya sudah di sini sejak subuh tadi dan Lisya bahkan tak kelihatan keluar dari rumah ini,” kata Ronald.
“Non Lisya berangkat lebih subuh Mas. Sebelum Mas nya dateng,” kata sang pembantu masih ngotot.
“Mbak, kalo Lisya sudah di sekolah, pasti motornya ada bersamanya. Itu motornya masih di sana,” kata Ronald sambil menunjuk ke Beat Lisya.
“Kan tadi dia berangkat naik mobil orangtuanya,” kata pembantu ini benar-benar nggak mau kalah.
“Mbak, nggak usah bohong lagi. Mobil orangtua Lisya keluar tepat sebelum saya turun dari mobil dan memencet bel rumah. Di dalamnya nggak ada Lisya,” kata Ronald.
“Tapi Non Lisya nggak mau ketemu sama Mas nya,” kata pembantunya lagi.
“Tolonglah, Mbak. Cuma Mbak yang bisa nolong saya ketemu sama Lisya. Saya periu banget bicara sama Lisya,” mohon Ronald.
“Ya udah deh Mas. Saya juga merasa Mas nya bukan orang jahat. Ke kamar Lisya sendiri ya Mas, tau kan? Lantai 2. Lisya lagi sakit di kamarnya,” kata pembantu Lisya.
“SAKIT? Mbak kok nggak bilang dari tadi sih?” Ronald langsung berlari ke kamar Lisya di lantai 2. Tanpa mengetuk pintu lagi, Ronald membuka pintu kamar Lisya.
“LISYA! Kamu sakit?” tanya Ronald sambil menghampiri tempat tidur Lisya dan memegang dahi Lisya. Panas.
“Ronald….”
“Kamu udah ke dokter? Udah minum obat?” tanya Ronald lagi, khawatir.
“Belum ke dokter, tapi Mama udah kasih obat tadi,” jawab Lisya pelan.
“Yaudah, aku anter kamu ke dokter sekarang. Panasmu belum turun tuh,” Ronald bersiap menggendong Lisya. Ketika tangan Ronald menyentuh punggung Lisya, Lisya hanya bisa tersenyum kecil melihat tingkah Ronald dan menyingkirkan tangannya.
“Nggak usah, Nald. Bentar lagi paling panasnya udah turun. Kan obatnya lagi kerja,” kata Lisya.
“Kamu ya, Sya. Udah tau setiap pagi hujan, kenapa masih nekad berangkat sendirian ke sekolah, pake motor lagi,” tanya Ronald sambil duduk di kasur Lisya dan menggenggam tangan Lisya.
“Kamu kok khawatir banget sih? Aku kan udah besar. Aku mau latihan hidup mandiri biar besok kalau aku kuliah, ngekos, bisa berangkat sendiri ke kampus,” jawab Lisya sambil tersenyum.
“Tapi kan nggak harus ngehindar dari aku kalau di sekolah,” kata Ronald lagi.
“Ahh itu…,” Lisya tidak menyelesaikan kalimatnya.
“Aku kangen kamu, Sya,” kata Ronald pelan, tapi kekuatan 4 kata itu justru masuk ke dalam hati Lisya, menghangatkan seluruh ruang di hatinya. Aku juga, Nald. Batin Lisya.
“Aku tau kamu lagi ngejodohin aku sama Valen. Ya kan?” tanya Ronald.
“Kok kamu tau?” tanya Lisya balik.
“Valen kemarin bilang ke aku kalo dia suka sama aku,” jawab Ronald.
“Terus?” tanya Lisya kaget, antara ingin tau jawaban yang diberikan Ronald, tapi takut kalau itu menyakiti hatinya.
“Ya aku tolak lah,” jawab Ronald santai.
“Kenapa?” tanya Lisya sedikit lega. Jawaban dari Ronald tidak menyakiti hatinya.
“Hati nggak bisa memilih, Sya. Hati itu dipilih,” jawab Ronald sambil menerawang.
“Maksudnya?” tanya Lisya tak mengerti. Kini Ronald memandang Lisya, mengumpulkan keberanian, dan menatap dalam mata Lisya.
“Kalau hatiku sih sebenarnya nggak mau hal ini terjadi. Hatiku nggak milih ini. Tapi ternyata hati memang nggak bisa memilih. Hatiku dipilih sama kamu, Sya. Bukan Valen yang aku suka. Tapi kamu,” jawab Ronald. Jawaban sekaligus pengakuan dari Ronald ini cukup membuat Lisya terkejut. Namun ia merasakan hal yang sama.
“Nald….”
“Sya, tau nggak? Aku nggak pernah sebahagia ini sebelum mengenalmu. Awalnya, aku hanya iseng mendekatimu karena aku tau kamu itu pendiem. Eh, lama-lama, kok aku malah bisa deket sama kamu. Dan entah sejak kapan, aku merasa kalau nggak liat kamu sehari aja, hatiku sesak,” kata Ronald lagi panjang lebar. Lisya masih terdiam sebelum mengatakan apa-apa.
“Aku nggak tau kamu ngerasa apa kalau sama aku, tapi…,” akhirnya Lisya memotong ucapan Ronald.
“Aku merasakan hal yang sama, Ronald. Aku juga nggak tau entah sejak kapan aku mulai ngerasa nggak nyaman kalau kamu nggak di sebelahku. Tapi, ketika Valen menginginkanku untuk membantunya agar bisa dekat sama kamu, aku mulai menyadari bahwa hatiku sebenarnya menolak.”
“Tapi kamu tetap menjauh dariku. Aktingmu berhasil Alisya Katharina,” kata Ronald.
“Maaf, Nald. Aku nggak tega menyakiti Valen. Dia orang pertama yang bisa aku percaya di sekolah ini,” kata Lisya meminta maaf. “Sebelumnya, dia selalu berbeda denganku. Siapa sangka Tuhan mengijinkan persamaan antara aku dan Valen terjadi di masalah seperti ini?”
“Jadi?” tanya Ronald.
“Valen tau ini semua?” tanya Lisya.
“Tau. Dia malah ngerasa bersalah banget sama kamu. Dia ngerasa kurang menjadi pendengar yang baik. Dia bahkan melepaskan aku buat kamu,” jawab Ronald.
“Yah, kok malah dia yang ngerasa bersalah? Kan aku yang emang nggak pernah cerita dan terlambat menyadari semua ini,” kata Lisya.
“Sudahlah, Sya. Yang jelas aku mau tuntut kamu karena kamu udah menghindari aku seminggu ini,” kata Ronald sambil tersenyum.
“Masa orang sakit dikasih tuntutan, bukannya doa?” tanya Lisya.
“Oke Alisya Katharina, mau nggak mau, you must be mine,” jawab Ronald.
“Enak aja, emang aku barang?” tanya Lisya. Yang ditanya hanya tersenyum sambil memeluk Lisya.
Get well soon, sayang,” kata Ronald.
Thankyou, Nald. Aku bohong masalah aku sudah minum obat dari Mama. Aku belum minum obat apa-apa nih. Ke dokter yuk!” ajak Lisya.
“Yah kamu, Sya. Berani bohong sama aku ya?” tanya Ronald sambil menggendong Lisya menuju ke mobilnya. Si Mbak pembantu Lisya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat majikannya yang katanya nggak mau ketemu sama “Mas Ganteng” tapi sekarang malah gendong-gendongan.

2 komentar:

  1. you have a great story! keep posting ya <3
    smoga suatu saat bisa bikin suatu karya lagi

    Cheers,
    RUBY and ROSA

    BalasHapus