Jumat, 27 Januari 2012

Musuh dibalik Saudara

“Huh hah huh hah…,” Vena masuk ke kelas dengan muka merah padam gara-gara berlari dari rumah ke sekolahnya yang tidak terlalu jauh itu. Tadi pagi, Vena bangun jam setengah tujuh. Langsung saja cepat-cepat ia mandi. Karena jarak rumah-sekolah tidak sampai 10 menit, Vena sampai di sekolah tepat ketika pintu gerbang akan ditutup. Ini gara-gara Mama pergi ke Hongkong, sih, batin Vena.
Marvena Aprilliani adalah seorang anak keluarga broken home. Ayahnya meninggalkannya ketika umurnya baru 1 bulan. Ibunya adalah seorang pekerja kantor yang tangguh dan pintar sehingga bisa membiayai sekolah anaknya di sekolah elit.
“Vena…. Baru datang nih? Kenapa telat?” tanya Arvel, sahabatnya.
“Mama…. Mama ke Hongkong, aku nggak ada yang bangunin tadi. Makanya aku telat,” jawab Vena.
“Emang kamu bangun jam berapa?” tanya Arvel sambil mengambil buku Matematikanya.
“Jam setengah tujuh,” jawab Vena santai.
“Astaga, Vena! Kamu nggak pasang jam weker?”
“Udah bunyi, sih. Trus aku matikan, biar damai. Hehehe….”
“Besok aku akan bangunin kamu!” kata Arvel. Vena hanya mengangguk karena Bu Kiren udah datang.


“Ven, lu jahat bangat sih?! Lu pukul Aji pake apa, hah? Lu pikir kepala Aji sekuat tembok, apa? Udah tau Aji itu badannya lemes, eh malah dipukul lagi!” serang Arvel pada Vena.
“Maaf, Vel. Aku nggak sengaja. Tadi aku lagi asyik main basket, nggak taunya waktu aku ngeshoot, waktu itu juga Aji lewat. Maafin aku, Vel…. Aku bener-bener nggak sengaja,” pinta Vena.
“Maaf, maaf! Emang cukup apa lu minta maaf? Kalo sampe Aji kenapa-napa, gue tuntut lu!” Arvel masih marah-marah. Aji, pacar Arvel sejak 2 bulan lalu, memang seorang yang lemah fisiknya. Tadi, begitu Aji kena bola, ia langsung dilarikan ke rumah sakit. Tiba-tiba keluarlah seorang dokter dari kamar Aji.
“Dokter, gimana kabar Aji?” tanya Arvel langsung.
“Pasien mengalami gegar otak yang cukup berat. Pasien akan melupakan beberapa hal dalam jangka waktu 3 bulan terakhir,” jawab sang dokter.
“Tidak…,” gumam Arvel yang langsung masuk ke kamar Aji. Vena pun ikut masuk diam-diam.
“Heh…. Keluar lu!” perintah Arvel.
“Tapi, Vel….”
“Gue suruh lu keluar! Sekarang juga! Nggak usah dateng ke sini lagi!”
“Arvel…. Aku minta maaf, Vel....”
“Cepet keluar ato gue panggilin satpam nih!” Vena langsung keluar dari kamar Aji. Dia pulang sambil menundukkan kepala, tanda putus asa.


“Heh! Jalan pake mata! Lu tuh punya mata dipake yang bener!” Arvel sengaja mengulurkan kakinya di depan Vena.
“Hoii! Lu yang jegal gue. Sadar diri donk! Jalan pake mata, kapan sampenya?” bentak Vena.
Hmm…. Gara-gara insiden “gagar otaknya Aji”, Vena sama Arvel jadi tengkar mulu. Nih, lihat belum ada 5 menit udah tengkar lagi….
“ARVEL!!! Lu apain meja gue hah? Lengket semua kaya gini…. Awas lu ya!”
“Sukurin! Siapa suruh lu hancurin kenangan gue?!”
Wah wah…. Keadaan terus bertambah parah hingga ada suatu kejadian yang mengejutkan mereka berdua…
“Vena, kamu ikut Mama ya! Hari ini Mama mau ketemu Papa kamu.”
“Yahh Mama…. Males lagi,” protes Vena.
“Eh…, nggak ada males-malesan. Ganti dress sana, sekarang!”
Di rumah yang lain…
“Arvel, ikut Papa! Papa mau ketemu Mama kamu. Kamu pasti pengen liat kan wajah Mama kamu?”
“Hmm…. Oke deh Pa.”
1 jam kemudian di suatu resto….
“Ma, Papa mana?” tanya Vena.
“Belum datang sayang. Kita tunggu dulu aja.”
“Vena ke kamar mandi dulu, yahh Ma.”
Tanpa diduga…
“Della…. Apa kabar?” tanya Papa.
“Wah, Thomas…. Ini Arvel?” tanya Mama.
“Iya, Ma. Arvel kangen Mama,” jawab Arvel.
“Loh, Vena ke mana, Ma? Nggak ikut? Kan kita udah sepakat mau mempertemukan kedua anak kita,” tanya Papa.
“Vena?” celetuk Arvel heran ketika mendengar nama Vera dan melihat seseorang yang berjalan keluar kamar mandi.
“Arvel?” Vena yang telah sampai di sebelah Mama juga heran melihat Arvel.
“Vena, Arvel. Kalian ini saudara kembar….”
“APA? Kembar ama dia? Nggak sudi!” jerit Vena dan Arvel berbarengan.
“Lohh? Kalian saling kenal?” tanya Papa bingung.
“Gimana nggak? Vena sampe bosen sekelas ama dia. Sikapnya itu lho, nggak bisa dewasa,” jawab Vena.
“Heh, nyadar donk! Kamu itu yang sembrono. Kerja aja grasa-grusu,” protes Arvel.
“Heii! Kalian ini kembar kok malah tengkar?” lerai Mama.
“Kembar kok nggak mirip,” celetuk Arvel.
“Vel…. Sebentar sebentar. Aku baru ingat kalo nama kita mirip. Iya, nama kita mirip. Dulu kita sering berandai-andai kalo kita itu saudara kembar. Ingat? Namaku Marvena Aprilliani dan kamu Marvella Aprilliana,” kata Vena menyadarkan Arvel.
“Iyaa…. Trus kita tengkar cuma gara-gara Aji. Ya ampun, Ven…. Maaf banget ya, waktu itu aku nggak maafin kamu,” kata Arvel.
“Iya, nggak apa-apa kok. Yang penting, kita udah sama-sama sadar,” jawab Vena sambil tersenyum.
“Boleh Mama lanjut? Mama dan Papa bercerai saat kalian masih sangat kecil. Nah, sekarang ini, kami ingin bersatu kembali. Bagaimana pendapat kalian?” tanya Mama.
“Wah, serius ini, Ma?” tanya Vena.
“Serius, Pa?” tanya Arvel.
“Iyaa, nak…,” jawab Mama dan Papa.
Wah…. Akhirnya mereka berempat saling berpelukkan, mereka keluar dari resto tanpa membeli apa-apa. Pelayan yang menjaga resto sampai terbengong-bengong melihat adegan itu. Huft… finally happy ending deh!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar