Senin, 02 Mei 2011

Cherry Harapan Bangsa

“Cher, Cherry!” Stella memanggil Cherry teman sebangkunya yang tertidur nyenyak di pelajaran Biologi.
“Hmm…,” Cherry menyahut dengan malas. Tiba-tiba, Mrs. Greek melihat ke arah Stella. Tampaklah bahwa Cherry , anak paling malas, sedang tertidur nyenyak. Mrs. Greek menghampiri meja Stella dan Cherry. Beliau membawa penggaris panjang. Mrs. Greek memang guru paling killer di sekolah.
Bruak… Penggaris itu dipukulkan di meja Cherry. Cherry langsung terbangun karena kaget.
“Siapa suruh kamu tidur? Hah? Cuci mukamu dan terangkan modul hal 15-16. Jika kamu tidak bisa, jangan kembali ke kelas ini sebelum kau punya surat ijin kepala sekolah, wakil kepala sekolah, dan semua guru di sini. Lakukan itu, cepat!”
Cherry segera berlari ke kamar mandi. Cherry adalah anak orang kaya. Tapi, kelakuannya benar-benar menjengkelkan. Cherry egois, Cherry pemalas, Cherry pelit, Cherry yang nggak pernah mau melayani dan segalanya. Tak heran hanya sedikit temannya. Tapi, ada juga yang mau berteman baik dengannya. Seperti Stella.
Cherry tentu saja tidak bisa menjelaskan hal 15 dan 16. Jadi, Cherry segera keliling sekolah meminta surat ijin masuk kelas dari guru-guru, plus dapat ceramah gratisan.
“Cher, kamu tuh pinter. Jadilah anak yang rajin. Jangan malas. Buang juga ego dan pelitmu. Tuhan nggak suka,” istirahat di kantin, menjadi momen tak terlupakan. Semua anak menatap Cherry yang bandel itu. Tentu saja, kabar tentang Cherry dihukum minta surat ijin ke guru-guru sudah tersebar luas.
Bukannya bertobat tapi malah membantah. “Emang kau siapa, bisa suruh-suruh aku? Semuanya terserah aku, dong!! Sok alim.”
“Cher, kamu kan pengen jadi dokter. Dokter mana yang nggak pinter?” tanya Stella lagi belum menyerah.
“Stel, katamu tadi, aku pinter?” sindir Cherry.
“Iya, kalau rajin belajar,” jawab Stella yang tentu saja membuat Cherry jadi jengkel setengah mati.
“Udahlah, Stel. Hidup itu cuma sebentar. Kalau nggak kita manfaatin bener-bener untuk bersenang-senang, tak akan ada artinya.”
“Justru itu! Karena hidup itu sebentar, gunakanlah untuk belajar giat dan melayani Tuhan.” Lagi-lagi, Cherry gagal mengelak.
“Tapi, semua orang yang lebih tua dariku bilang kalau aku itu bodoh, termasuk guru-guru dan Papa Mama yang selalu membandingkan aku dengan kakakku Marissa yang pintar itu. Artinya kan memang aku seperti itu. Bagaimana bisa kau katakan aku pintar padahal usiamu lebih muda dariku? Ah, aku tak percaya. Lagi pula, bodoh bukan dosa, kan?”
“Cher, kamu percaya bahwa kau bodoh? Semua orang bodoh bisa berubah menjadi pintar kalau ada minat dan tekad. Liat Thomas Alfa Edison dengan pertanyaan-pertanyaannya yang tidak masuk akal, beliau malah menjadi pencipta bola lampu. Siapa tau kamu akan menjadi terkenal sepertinya.”
“Nggak taulah, Stel. Aku mau ke kelas dulu. Muak aku melihat mata-mata yang begitu banyak memandangiku dan mulut-mulut yang membicarakanku,” Cherry segera berlari ke kelas.
“Cherry, Cherry…,” gumam Stella sambil ikut melangkah ke kelas.


Kringgg…. Kringgg….
“Halo?” Cherry mengangkat telepon rumahnya yang berdering.
“Selamat siang. Apakah ini benar rumah Ibu Mallory Meliana?”
“Iya, benar. Ini dari siapa ya?”
“Ini dari Rumah Sakit Norwelson, mengabarkan bahwa tadi, Ibu Mallory mengalami kecelakaan dan sekarang sedang dalam keadaan kritis.”


Cherry mondar-mandir di depan ruang UGD ketika Papanya sampai ke Rumah Sakit.
“Papa….” Cherry memeluk Papanya.
“Cherry, apa yang terjadi pada Mama?” tanya Papa.
“Cherry nggak tau, Pa. Tadi sepulang sekolah Cherry dapat telepon dari rumah sakit. Katanya Mama kecelakaan. Hikshiks…,” Cherry menangis sesenggukan.
Tiba-tiba, seorang dokter keluar dari kamar UGD dan mengabarkan keadaan Mama. “Permisi, Pak. Keadaan Ibu Mallory masih koma. Beliau kehilangan banyak darah. Golongan darah Ibu AB, sedangkan kami tidak memiliki stoknya.”
“Ambil darah Cherry saja, Dok. Golongan darah Cherry juga AB,” Cherry langsung menjawab.
“Cherry, umur Cherry belum ada 17 tahun. Papa nggak ngijinin,” kata Papa.
“Tapi, Pa…,”
“Ngak papa, Pak. Ibu harus segera ditolong. Ayo, ikut saya,” kata Dokter itu.
Setelah Cherry diambil darahnya, Stella datang ke rumah sakit. Stella memanggil Cherry dari jauh. “Cher, gimana Mamamu? Baik kan?”
“Stella? Gimana kamu bisa disini? Sekarang masih kritis, Stel,” jawab Cherry.
“Tadi, aku melihat Mamamu kecelakaan. Tabrak lari, Cher.”
Tiba-tiba Cherry meneteskan air mata. “Stel, kenapa kamu mau jadi temenku?”
“Hah? Kok tiba-tiba nanya gitu, sih?”
“Kamu… kamu satu-satunya teman baik yang aku punya. Kamu begitu perhatian sama aku. Kamu selalu menasihatiku. Semua omonganmu selalu benar dan aku selalu membantahmu. Tapi, mengapa kau masih tetap di sini, menemaniku?”
“Cher, itulah gunanya sahabat. Ia tidak akan meninggalkan yang susah dan hanya menemani saat senang. Seperti mata dan tangan, saat tangan terluka, mata akan menangis dan saat mata menangis, tangan akan menghapus air mata itu.”
“Hiks hiks…. Huaa…. Stel, aku nggak akan pernah tau apa jadinya aku tanpamu. Mungkin aku sekarang udah ngedugem, ngerokok, narkoba. Stel, aku takut…. Aku nggak mau kehilangan Mama sekarang. Aku belum belajar rajin, kayak yang Mama suruh setiap hari, aku belum pernah membuat Mama terkesan, aku selalu mbantah Mama dan nggak pernah jadi anak yang penurut.”
“Sstt….” Stella meletakkan jari telunjuk di depan mulut Cherry. “Jangan bilang gitu, Cherry sayang. Mulai sekarang, ubah sikapmu, ubah hatimu, kita doa bersama buat Mamamu.”
“Stel,” panggil Cherry.
“Iya? Kenapa?” tanya Stella.
“Aku mau ngomong. Tapi malu…,” pipi Cherry agak bersemu.
“Ngomong aja, Cher. Aku bisa jaga rahasia,” jawab Stella. Agak heran, nggak biasanya, sih….
“Aku… aku… mmm… sebenernya aku nggak pernah doa, Stel…. Aku tau, aku punya banyak salah di hadapan Tuhan. Aku yang hina ini memang nggak pantas doa. Apalagi, tiba-tiba minta kesembuhan buat Mamaku.”
“Cher, Cher… kirain mau ngomong apa. Cher, kamu ternyata sadar ya, kalau kamu emang salah. Tapi Cher, Papi Jesus itu Allah yang setia. Sudah lama, Dia menunggumu. Papi kangen banget sama kamu. Berdoa ya? Aku yang pimpin.”
“Iya, Stel…, makasih….”
“Bapa, kembali kami datang kepadaMu. Terima kasih Tuhan, Engkau telah memberkati Cherry dan memberi hikmah untuknya agar berada di jalan yang benar. Bapa, kami ingin bersama-sama berdoa, Tuhan, untuk kesembuhan Tante Mallory. Engkau yang jamah Tante Mallory dengan bilur-bilur darahMu. Di dalam nama Tuhan Yesus, Tante pasti sembuh, Tuhan. Bapa, sekarang ini, anakMu Cherry sudah mau bertobat, Tuhan. Tuntunlah ia, beri kekuatan untuk mengubah sikapnya. Terima kasih Bapa, hanya di dalam namaMu, kami berdoa dan berserah. Amin….”
“Stel, kamu pinter doa, ya? Aku minder kalau harus doa sendiri.”
“Cher, doa nggak perlu bagus-bagusan. Tuhan sudah tau apa isi hatimu.”
“Stel, mulai sekarang, aku berjanji akan belajar rajin dan ubah semua sikapku. Aku mau jadi orang berguna untuk Papa, Mama, gereja, bangsa, negara dan semuanya. Aku mau jadi generasi yang diharapkan bangsa. Pegang kata-kataku ya!”


Beberapa tahun kemudian….
“Cherry!! Selamat, ya!! Kamu sekarang sudah jadi Dokter. Gimana kabarmu?” Stella yang sedang mengajar, menyempatkan diri menelepon Cherry ketika ia tahu bahwa Cherry telah menjadi dokter.
“Baik, Stel. Gimana pekerjaanmu?” tanya Cherry balik.
“Nih, aku lagi istirahat sebentar setelah ngajar, hehe…,” jawab Stella.
“Sipp…. Ya udah, ngajar dulu sana, Bu Guru!”
“Hahaha…. Oke…. Bye!!”
Cherry yang dulu adalah seorang yang nakal, malas, egois dan segalanya telah berubah. Ia benar-benar menjadi generasi yang diharapkan bangsa. Cherry, sang dokter yang sangat pintar, ia tetap melayani Tuhan. Ia membuka pengobatan gratis. Hampir setiap orang yang berobat kepadanya, entah agama apa saja, akan menjadi percaya Tuhan.
How about you, guys? Can you change your bad habit become a good habit? Can you be a hope generation? I know you can..^^

2 komentar: