Senin, 02 Mei 2011

Cherry Harapan Bangsa

“Cher, Cherry!” Stella memanggil Cherry teman sebangkunya yang tertidur nyenyak di pelajaran Biologi.
“Hmm…,” Cherry menyahut dengan malas. Tiba-tiba, Mrs. Greek melihat ke arah Stella. Tampaklah bahwa Cherry , anak paling malas, sedang tertidur nyenyak. Mrs. Greek menghampiri meja Stella dan Cherry. Beliau membawa penggaris panjang. Mrs. Greek memang guru paling killer di sekolah.
Bruak… Penggaris itu dipukulkan di meja Cherry. Cherry langsung terbangun karena kaget.
“Siapa suruh kamu tidur? Hah? Cuci mukamu dan terangkan modul hal 15-16. Jika kamu tidak bisa, jangan kembali ke kelas ini sebelum kau punya surat ijin kepala sekolah, wakil kepala sekolah, dan semua guru di sini. Lakukan itu, cepat!”
Cherry segera berlari ke kamar mandi. Cherry adalah anak orang kaya. Tapi, kelakuannya benar-benar menjengkelkan. Cherry egois, Cherry pemalas, Cherry pelit, Cherry yang nggak pernah mau melayani dan segalanya. Tak heran hanya sedikit temannya. Tapi, ada juga yang mau berteman baik dengannya. Seperti Stella.
Cherry tentu saja tidak bisa menjelaskan hal 15 dan 16. Jadi, Cherry segera keliling sekolah meminta surat ijin masuk kelas dari guru-guru, plus dapat ceramah gratisan.
“Cher, kamu tuh pinter. Jadilah anak yang rajin. Jangan malas. Buang juga ego dan pelitmu. Tuhan nggak suka,” istirahat di kantin, menjadi momen tak terlupakan. Semua anak menatap Cherry yang bandel itu. Tentu saja, kabar tentang Cherry dihukum minta surat ijin ke guru-guru sudah tersebar luas.
Bukannya bertobat tapi malah membantah. “Emang kau siapa, bisa suruh-suruh aku? Semuanya terserah aku, dong!! Sok alim.”
“Cher, kamu kan pengen jadi dokter. Dokter mana yang nggak pinter?” tanya Stella lagi belum menyerah.
“Stel, katamu tadi, aku pinter?” sindir Cherry.
“Iya, kalau rajin belajar,” jawab Stella yang tentu saja membuat Cherry jadi jengkel setengah mati.
“Udahlah, Stel. Hidup itu cuma sebentar. Kalau nggak kita manfaatin bener-bener untuk bersenang-senang, tak akan ada artinya.”
“Justru itu! Karena hidup itu sebentar, gunakanlah untuk belajar giat dan melayani Tuhan.” Lagi-lagi, Cherry gagal mengelak.
“Tapi, semua orang yang lebih tua dariku bilang kalau aku itu bodoh, termasuk guru-guru dan Papa Mama yang selalu membandingkan aku dengan kakakku Marissa yang pintar itu. Artinya kan memang aku seperti itu. Bagaimana bisa kau katakan aku pintar padahal usiamu lebih muda dariku? Ah, aku tak percaya. Lagi pula, bodoh bukan dosa, kan?”
“Cher, kamu percaya bahwa kau bodoh? Semua orang bodoh bisa berubah menjadi pintar kalau ada minat dan tekad. Liat Thomas Alfa Edison dengan pertanyaan-pertanyaannya yang tidak masuk akal, beliau malah menjadi pencipta bola lampu. Siapa tau kamu akan menjadi terkenal sepertinya.”
“Nggak taulah, Stel. Aku mau ke kelas dulu. Muak aku melihat mata-mata yang begitu banyak memandangiku dan mulut-mulut yang membicarakanku,” Cherry segera berlari ke kelas.
“Cherry, Cherry…,” gumam Stella sambil ikut melangkah ke kelas.


Kringgg…. Kringgg….
“Halo?” Cherry mengangkat telepon rumahnya yang berdering.
“Selamat siang. Apakah ini benar rumah Ibu Mallory Meliana?”
“Iya, benar. Ini dari siapa ya?”
“Ini dari Rumah Sakit Norwelson, mengabarkan bahwa tadi, Ibu Mallory mengalami kecelakaan dan sekarang sedang dalam keadaan kritis.”


Cherry mondar-mandir di depan ruang UGD ketika Papanya sampai ke Rumah Sakit.
“Papa….” Cherry memeluk Papanya.
“Cherry, apa yang terjadi pada Mama?” tanya Papa.
“Cherry nggak tau, Pa. Tadi sepulang sekolah Cherry dapat telepon dari rumah sakit. Katanya Mama kecelakaan. Hikshiks…,” Cherry menangis sesenggukan.
Tiba-tiba, seorang dokter keluar dari kamar UGD dan mengabarkan keadaan Mama. “Permisi, Pak. Keadaan Ibu Mallory masih koma. Beliau kehilangan banyak darah. Golongan darah Ibu AB, sedangkan kami tidak memiliki stoknya.”
“Ambil darah Cherry saja, Dok. Golongan darah Cherry juga AB,” Cherry langsung menjawab.
“Cherry, umur Cherry belum ada 17 tahun. Papa nggak ngijinin,” kata Papa.
“Tapi, Pa…,”
“Ngak papa, Pak. Ibu harus segera ditolong. Ayo, ikut saya,” kata Dokter itu.
Setelah Cherry diambil darahnya, Stella datang ke rumah sakit. Stella memanggil Cherry dari jauh. “Cher, gimana Mamamu? Baik kan?”
“Stella? Gimana kamu bisa disini? Sekarang masih kritis, Stel,” jawab Cherry.
“Tadi, aku melihat Mamamu kecelakaan. Tabrak lari, Cher.”
Tiba-tiba Cherry meneteskan air mata. “Stel, kenapa kamu mau jadi temenku?”
“Hah? Kok tiba-tiba nanya gitu, sih?”
“Kamu… kamu satu-satunya teman baik yang aku punya. Kamu begitu perhatian sama aku. Kamu selalu menasihatiku. Semua omonganmu selalu benar dan aku selalu membantahmu. Tapi, mengapa kau masih tetap di sini, menemaniku?”
“Cher, itulah gunanya sahabat. Ia tidak akan meninggalkan yang susah dan hanya menemani saat senang. Seperti mata dan tangan, saat tangan terluka, mata akan menangis dan saat mata menangis, tangan akan menghapus air mata itu.”
“Hiks hiks…. Huaa…. Stel, aku nggak akan pernah tau apa jadinya aku tanpamu. Mungkin aku sekarang udah ngedugem, ngerokok, narkoba. Stel, aku takut…. Aku nggak mau kehilangan Mama sekarang. Aku belum belajar rajin, kayak yang Mama suruh setiap hari, aku belum pernah membuat Mama terkesan, aku selalu mbantah Mama dan nggak pernah jadi anak yang penurut.”
“Sstt….” Stella meletakkan jari telunjuk di depan mulut Cherry. “Jangan bilang gitu, Cherry sayang. Mulai sekarang, ubah sikapmu, ubah hatimu, kita doa bersama buat Mamamu.”
“Stel,” panggil Cherry.
“Iya? Kenapa?” tanya Stella.
“Aku mau ngomong. Tapi malu…,” pipi Cherry agak bersemu.
“Ngomong aja, Cher. Aku bisa jaga rahasia,” jawab Stella. Agak heran, nggak biasanya, sih….
“Aku… aku… mmm… sebenernya aku nggak pernah doa, Stel…. Aku tau, aku punya banyak salah di hadapan Tuhan. Aku yang hina ini memang nggak pantas doa. Apalagi, tiba-tiba minta kesembuhan buat Mamaku.”
“Cher, Cher… kirain mau ngomong apa. Cher, kamu ternyata sadar ya, kalau kamu emang salah. Tapi Cher, Papi Jesus itu Allah yang setia. Sudah lama, Dia menunggumu. Papi kangen banget sama kamu. Berdoa ya? Aku yang pimpin.”
“Iya, Stel…, makasih….”
“Bapa, kembali kami datang kepadaMu. Terima kasih Tuhan, Engkau telah memberkati Cherry dan memberi hikmah untuknya agar berada di jalan yang benar. Bapa, kami ingin bersama-sama berdoa, Tuhan, untuk kesembuhan Tante Mallory. Engkau yang jamah Tante Mallory dengan bilur-bilur darahMu. Di dalam nama Tuhan Yesus, Tante pasti sembuh, Tuhan. Bapa, sekarang ini, anakMu Cherry sudah mau bertobat, Tuhan. Tuntunlah ia, beri kekuatan untuk mengubah sikapnya. Terima kasih Bapa, hanya di dalam namaMu, kami berdoa dan berserah. Amin….”
“Stel, kamu pinter doa, ya? Aku minder kalau harus doa sendiri.”
“Cher, doa nggak perlu bagus-bagusan. Tuhan sudah tau apa isi hatimu.”
“Stel, mulai sekarang, aku berjanji akan belajar rajin dan ubah semua sikapku. Aku mau jadi orang berguna untuk Papa, Mama, gereja, bangsa, negara dan semuanya. Aku mau jadi generasi yang diharapkan bangsa. Pegang kata-kataku ya!”


Beberapa tahun kemudian….
“Cherry!! Selamat, ya!! Kamu sekarang sudah jadi Dokter. Gimana kabarmu?” Stella yang sedang mengajar, menyempatkan diri menelepon Cherry ketika ia tahu bahwa Cherry telah menjadi dokter.
“Baik, Stel. Gimana pekerjaanmu?” tanya Cherry balik.
“Nih, aku lagi istirahat sebentar setelah ngajar, hehe…,” jawab Stella.
“Sipp…. Ya udah, ngajar dulu sana, Bu Guru!”
“Hahaha…. Oke…. Bye!!”
Cherry yang dulu adalah seorang yang nakal, malas, egois dan segalanya telah berubah. Ia benar-benar menjadi generasi yang diharapkan bangsa. Cherry, sang dokter yang sangat pintar, ia tetap melayani Tuhan. Ia membuka pengobatan gratis. Hampir setiap orang yang berobat kepadanya, entah agama apa saja, akan menjadi percaya Tuhan.
How about you, guys? Can you change your bad habit become a good habit? Can you be a hope generation? I know you can..^^

DO THE BEST !!


Hi all, good morning. I’m Marsha Jocelyn Annette, just call me Marsha. I come from Aussie,” aku memperkenalkan diri di depan sambil sedikit malu-malu. Berpasang-pasang mata memandangku dengan penasaran. Huh, habisnya aku telat masuk sekolah sih. Papa tuh! Pindah kok kelas 8. Napa nggak kelas 7 aja coba? Kan aku udah punya temen. Kalo sekarang, temen-temen udah pada nge-blok atau nge-geng sendiri-sendiri. Sepi deh.
Thank you Marsha, now, please sit with Nikita and we will study Mathematics, about Algebra. Algebra is bla… bla… bla…,” Ms. Melissa mulai mengoceh soal ajabar dalam Bahasa Inggris. Memang kelasku ini adalah kelas B-8, artinya Billingual 8. Tentu saja murid-murid yang pintar berbahasa Inggris yang dapat masuk ke sini. Tapi, terkadang banyak yang berbicara dengan temannya mengunakan Bahasa Indonesia terutama di saat istirahat.
Kring… Istirahat !!
“Nikki, gue pinjem penggaris lo !!” kata seorang anak yang duduknya tak jauh dari Nikita.
“Nih, ambil aja,” kata Nikita sedikit ketus.
“Eh, Nikki, aku boleh kenalan nggak ??” tanyaku pelan pada Nikita.
“Enak aja lo !! Nikka, Nikki, emang elo pantes panggil gue Nikki ?? Ngaca donk !! Elo bukan sapa-sapa gue !! Hanya sahabat gue yang boleh manggil gue Nikki tau. Elo sii, cukup panggil aja Nikita kenapa ?? Nggak bisa ?? Harus Nikki emang ??” tanya Nikita ketus.
“Maaf, maaf. Gini aja deh, aku boleh jadi sahabatmu nggak Nikita ??” tanyaku polos.
“Hahaha…, ngimpi kali yee !! Jadi sahabat gue tuh harus pinter, gaul, ‘n pastinya tajir, donk !!” terang Nikita kasar. “Elo mah, kampungan. Masuk sini aja pasti cuma untung doank. Udah lah, capek gue. Gen, Katt, ikut gue ke kantin yuk !!”
Aku terheran-heran. Awal mula aku masuk ke sini aja udah disambut dengan tidak baik. Gimana mau menghadapi hari-hari ke depan ?? Aku jadi malas mencari teman di sini. Lebih baik menyendiri aja and ngelakuin hobi aku, nggambar. Aku nggak suka sekolah ini. Inggris tuh orangnya sombong-sombong.

        “Eh, ikut ekskul apa, lo ??” tanya Nikita ketika dibagi lembar ekskul.
“Mmm…, aku ikut…, ikut…,” belum saja aku selesai, lagi-lagi sudah diputus oleh Jennifer yang langsung nggabung di mejaku dan Nikita.
“Belagu lo !! Ngomong yang jelas donk !!” sambar Jennifer.
“Gagap sii lo, makanya, latihan ngomong !!” tambah Kathryn.
“Eh, lo berdua diem dulu. Gue tanya ke Marsha ‘n lo nggak boleh asal nyeplos gitu. Would you want to choose Marsha ?? Tell me please,” pinta Nikita sambil memasang wajah yang innocent. Ih, jijay !!
Modeling and Designer. How about you all ??” tanyaku.
“HAH ?? ELO IKUT MODELING ?? YANG BENER AJA DEH !! NGGAK SALAH ??” jerit Nikita, Jennifer, dan Kathryn.
No, I choose the true, my friends. Because I want to be a Model and a Designer, so I must choose this. It’s nice,” jawabku santai, aku ke depan dan menyusun jadwal ekskulku pada Ms. Melissa.
“Gue tantangin lo, Sha. Denger baik-baik !! Bulan depan akan ada lomba “Design and Wear Your Winter Mode”. Elo harus ikut dan taruhan, gue mesti menang,” kata Nikita. Nikita emang terkenal sebagai seorang model yang top di Love England JHS.
Okee, Nik. Wish me luck,” balasku tenang.

30 Februari 2010…
 
“ DESIGN AND WEAR YOUR WINTER MODE ”

Spanduk besar itu terpanjang di atas sebuah gedung besar, tempat diadakannya Lomba “Design and Wear Your Winter Mode”.
“Heh, awas lo ya !! Kalo gue yang menang, gue bisa apain lo terserah gue, demikian pula sebaliknya. Inget itu, dan bersiaplah !!” Nikita memberi peringatan kepadaku diikuti oleh anggukan kepala Jennifer dan Kathryn.
“Okee, Nik, aku terima tantanganmu. Bersiaplah pula,” balasku datar.
Attention !! The competition will start in a moment,” teriak seorang MC dengan mikrofonnya.
Number one, Mirelle Gerald with her Nice Dress,” seorang gadis muncul dengan pakaian indahnya dan berjalan bak model di atas panggung.
Number seven, Nikita Kathrol with her Beautiful and Colorful Dress,” Nikita melangkah keluar panggung. Ih, gayanya mempesona, tapi terlalu berlebihan. Dag-dig-dug. Aku nomer 8, sebentar lagi. Semoga nomer ini benar-benar menjadi nomer keberuntunganku.
Number eight, Marsha Annette with her Casual T-shirt and Jeans,” sambil dag-dig-dug, aku maju ke depan dengan pede.
The last one, number fifteen, Rebecca Johnson with her Bright Candle Dress,” MC itu mengakhiri tugasnya.

2 jam kemudian, pengumuman lomba pun diberitahukan.
We have only one winner in this competition. And she can be a Teen Magazine Model in one year, she has two ticket, so she can invite her friends. She get one hundred dollar and she have two ticket to go to the France,” seorang juri di atas panggung telah mengumumkan hadiah bagi seorang pemenang.
And this is, our conclusion…,” I hope I win….
The winner is…,” Please me !!
“MARSHA ANNETTE !!” Hah ?? Ada yang sebut namaku ??
Aku menang ??
Please go forward for get the gift, Marsha,” Hah ?? Mimpikah ini ?? Aku benar-benar menang ?? HOREE !!
Aku maju ke depan dan menerima hadiah. Para juri menanyakan padaku, mengapa memilih pakaian casual, bukan gaun-gaun seperti peserta lainnya. Haha. Alasanku adalah supaya tampil beda dan nyaman. Hehe. Eh, aku melihat muka kusut Nikita. Hihi.
“Hi, Nik,” sapaku setelah turun panggung dan sebelum dikerumuni para wartawan.
“Udah lah. Elo boleh hancurkan gue, elo boleh jitak gue, elo boleh cincang gue sekalian kalo lo mau. Gue kalah ‘n gue ngaku kalo lo lebih hebat dari gue. Ngapain diem ?? Tonjok gue !!” perintah Nikita.
“Bukan, bukan, Nik. Jangan salah paham donk !! Aku dapet 2 tiket ke Paris dan boleh menawarkan kepada seorang peserta model lain yang kalah untuk ikut be a Teen Magazine Model. Nah, aku mau tawarin kamu. Mau ??” tanyaku.
“Hah ?? Yang bener kamu ?? Jadi, kamu nggak akan tonjokin aku kan ?? Marsha, you are the best. You are so kind with me. You can call me Nikki and you can be my best friend. Our best friend. Yes, Gen, Katt ??
Of course. Why not ??” jawab Jennifer dan Kathryn bersamaan.
Thank’s friends. Look !! Many journalist in here,” tunjukku pada para wartawan.

           “Hey, Marsha, apa yang kau lakukan dengan 2 tiket bonus ke Paris dan 2 tiket be a Teen Magazine Model ?? Kau berikan pada siapa ??” tanya seorang wartawan.
           Of course for Nikki, Nikita Kathrol,” jawabku.
           Why Nikki ??” tanya wartawan lain.
           “Karena Nikki yang mengajarkan padaku suatu hal baru. Jangan meremehkan orang lain.”











_The End_
~ GBU ~






My Best Friend 4ever

“Hai, namaku Millie, aku pindahan dari United School, tepatnya di New York, Amerika Serikat. Aku lahir tanggal 3 Oktober 1997,” kataku memperkenalkan diri di sekolah baruku.
“Ms. Madova, silahkan duduk di sebelah Ms. Linova. Untuk yang ingin berkenalan dengan Ms. Madova lebih lanjut, silahkan bertanya sendiri pada saat jam istirahat nanti. Sekarang ambil buku Biologi dan… bla… bla… bla…,” terang Ms. Melody panjang lebar.
Kalian sudah tau kan namaku. Millie, ya, Millie Xiao Madova. Aku memang keturunan China yang lahir di Amerika Serikat. Mataku sipit dan kulitku putih. Aku mempunyai 2 lesung pipi. Emm… apa lagi ya? O iya, aku pindah ke Inggris ini karena ayahku yang bekerja sebagai dokter penyakit dalam, memiliki pekerjaan menjanjikan di Inggris ini.
Tet… Tet…. Jam pelajaran Biologi telah selesai. Kini ketua kelasku yang bernama…, eh, aku tak tau namanya.
“Greeting Ready…,” kata seorang gadis, yaitu ketua kelasku.
“Good morning, Ms. Melody, thank you…,” seru kami semua.
“Gaby, cepat cari Ms. Star, sudah waktunya pelajaran Bahasa,” perintah seorang gadis berambut ikal pendek warna hitam, kalau nggak salah sih namanya Patricia, pada gadis bernama Gaby yang tadi menyiapkan salam. Kini, aku tau nama ketua kelasku, Gaby. A beautiful name, isn’t?
Satu hari, satu minggu, satu bulan, dua bulan, tak terasa 3 bulan sudah terlewati. Tapi, di asrama Princess Girl ini, aku belum punya seorang sahabat. Teman-teman yang satu kamar denganku, seperti Alicia yang populer dan Patricia yang bakat menggambar, mereka sudah bersahabat sejak kelas 1 sampai kelas 7 ini. Lalu, aku teringat pada Felicity, sang kutu buku. Aku yakin, teman sekamarku yang satu ini belum punya sahabat. Tapi, jika ia belum punya sahabat, mana mau ia menjadi sahabatku? Tapi, seperti kata sahabatku dulu, “apa salahnya dicoba?” Aku menemui Felicity di tempat favoritnya, perpustakaan.
“Fel, kau mau jadi sahabatku? Please!” pintaku ke Felicity.
“Millie, bukannya aku nolak, tapi, sahabatku hanya buku. Sorry, Millie!” ia meneruskan membaca bukunya.
Huh, Felicity aja ngak mau apalagi aku Alicia. Ia pasti akan merasa terganggu jika ada aku di dalam persahabatanya dengan Patricia. Tapi, sekali lagi, seperti kata sahabatku dulu, “apa salahnya dicoba?” Nah, itu mereka di kantin sekolah.
“Lis, kamu mau menjadi sahabatku?” tanyaku. “Bersama Patricia.”
“Millie, aku dan Patricia tak bisa bersahabat lagi dengan orang lain. Kami sudah memutuskan itu sejak lama,” jawab Alicia.
“Tapi, kumohon. Aku nggak punya sahabat di sini! Boleh, ya, Pat?” mohonku ke Patricia.
“Millie, seperti kata Alice, nggak ada yang bisa bersahabat lagi dengan kita berdua. Sorry, Millie! Mungkin kau bisa coba Gaby yang cerewet, sok alim dan sombong itu. Aku yakin ia belum punya sahabat,” terang Patricia.
Ah, Gaby. Memang kata teman-teman ia cerewet, sok tau dan sombong. Tapi, cerewet bisa dimaklumi karena ia pemimpin di kelas dan di kamar asramaku. Sok alim karena ia ketua kelas yang harus menjadi contoh yang baik. Sombong, ah mungkin sifat itu bisa kurubah jika aku menjadi sahabatnya.
“Atau mungkin juga Emil, teman sebangkumu yang judes itu. Hahaha...,” sambung Alicia sambil melanjutkan makannya.
Tapi, tentang Emilia Linova itu, aku tak akan pernah mau bersahabat dengannya. Judes, galak, sok tau, menang sendiri, sok ngatur padahal nggak mau diatur, pokoknya NYEBELIN BANGET!!!
Aku hendak ke kamarku ketika aku melihat Gaby membuka pintu kamar. Langsung aja dia kupanggil.
“Gaby, wait me!!!” pangilku saat Gaby akan masuk ke kamar nomer 8, kamarku, Gaby, Alicia dan Felicity.
“Ya Millie, ada apa? Mari kita bicarakan di dalam saja,” panggil Gaby sambil membuka pintu kamar. Aku mengikutinya masuk.
“Ah, aku capek banget,” katanya sambil merebahkan diri di kasurnya. Aku juga duduk di kasur sebelahnya, kasurku. “O iya, Millie, kau mau bicara apa?”
“Gaby, susah sekali aku mendapatkannya. Kuharap kau menyanggupinya,” aku menghela nafas terlebih dahulu, lalu kulanjutkan, “maukah kau menjadi sahabatku? Please!!!”
“Millie,” ia merangkulku. “Thank you. Aku sangat berterima kasih karena ada yang mau mengajakku menjadi sahabat. Selama ini, aku berpikir bahwa aku tak berguna setelah aku kehilangan Celine di kelas 5 dulu. Ia meninggal gara-gara kecelakaan dan pendarahan yang cukup banyak. Ia meminta maaf padaku karena ia tak punya waktu lebih banyak lagi dan ia mendoakan aku supaya punya sahabat yang lebih baik darinya sebelum ia meninggal dan orang itu ternyata kamu!” cerita Gaby. Aku melepaskan rangkulannya dan sekarang, aku merangkulnya lagi.
“Gaby, aku juga berterima kasih sekali karena ada orang yang mau menjadi sahabatku. Aku kangen pada Novi sahabat lamaku yang selalu menasihati aku dan mendoakanku. Ia masih di New York sekarang,” aku juga bercerita tentang sahabat lamaku ke Gaby.
Esoknya, berita persahabatanku dengan Gaby yang kata orang cerewet, sok alim dan sombong itu, langsung tersebar ke semua anak kelas 7. Sejak saat itu, jika ada yang mengejek Gaby atau menjatuhkannya, aku selalu siaga untuk membela dan membangkitkan Gaby kembali. Sejak persahabatanku dengan Gaby, ia mulai berubah menjadi orang yang bijaksana dan rendah hati. Karena itu, banyak yang ingin menjadi sahabatnya. Tapi, ia selalu menolak dengan kata-kata khasnya.
“Aku mendapat banyak pelajaran, nasihat, belaan dan semangat dari Millie. Aku nggak akan pernah bisa membalasnya. Karena itu, aku berusaha untuk membalasnya melalui persahabatan ini. Aku berjanji tak akan mengkhianatinya dengan bersahabat dengan kalian. Sahabatku hanya satu dan abadi untuk selamanya. Ya, sahabatku hanya Millie Xiao Madova yang sipit, putih, cemerlang dan imut itu.”

Sabtu, 30 April 2011

It’s My School


Hai, aku Stefani Malley McMaroon, panggil aja Stefan atau Stef dan jangan pernah panggil aku Stefani karena nama itu jelek dan terlalu cewek. Aku sekolah di Lovely, Joy, and Peace School di kota yang sangat kecil di London. Aku nggak tau kenapa kedua orang tuaku memilihkan aku sekolah di sekolah itu. Mungkin mereka menginginkan aku menjadi anak suci yang penuh perdamaian. Amit-amit, tak akan pernah! Aku kan suka dengan pertengkaran. Bagiku, itu adalah suatu tantangan. Aku paling suka bermain karate untuk bertengkar.
Sebenarnya, malas mengakui bahwa aku sekolah di Lovely, Joy, and Peace School. Habis, setiap kali aku mengakuinya, maka teman-temanku (yang mengikuti kursus karate), akan langsung tertawa. Mereka akan berkata, “Wah, Stef kita tidak suka pertengkaran. Ia memilih sekolah perdamaian. Lebih baik kau tak usah ada di Karate Course. Percuma!!!” Jangan ikut mengata-ngataiku. Aku memang tak seberuntung yang lain.

Hari pertamaku, sangatlah buruk. Aku terlambat dan disuruh lari mengelilingi lapangan sebanyak 10 kali. Aku hanya melakukannya selama 10 menit karena aku sudah terbiasa berlari pemanasan di Karate Course. Setelah selesai, aku langsung ke guru tugas yang menyuruhku berlari tadi. Aku diberi ceramah selama 10 menit. Bayangkan betapa merananya aku.  Aku hanya menunduk dan menunduk terus sampai-sampai ketiduran.
Setelah selesai, aku langsung masuk ke kelasku, kelas Bahasa. Informasi tentang apa yang harus dibawa besok telah selesai diberitahukan. Sekarang, wali kelasku, Ms. Loony (maksudku Luna, karena Loony artinya gila. Menurutku ia memang gila dan entah kenapa semua murid menyukainya kecuali aku), ia sedang menyuruh murid-murid maju ke depan untuk memperkenalkan diri. Ms. Loony, dia benar-benar gila menyuruhku duduk di sebelah Mary Nonary Auriry, anak paling MENTEL sedunia. Aku bilang juga apa, ia langsung bergidik ketika aku duduk, entah kenapa. Tapi, menurut penerawanganku, ia tak suka aku karena aku tomboy dan pintar karate (mungkin ia takut pipinya yang bulat seperti bakpao habis kutonjok). Ia memang tak suka olahraga. O, iya, barusan ide melayang di otakku, aku punya julukan untuk anak paling MENTEL sedunia ini. Julukannya adalah MARY SORI STROBERI LOVELY, atau lebih singkatnya, SI LOVELY. Keren kan???
Karena tak ada yang kukenal selain si Lovely, terpaksa aku meminjam buku pada si Lovely. Tapi, aku langsung ditolak mentah-mentah. Aku tak berusaha memaksanya untuk meminjamkan buku itu padaku karena aku tau diri. Kuputuskan (jika ada kesempatan manis), aku akan menonjok pipinya yang bulat itu biar sedikit kempis.
Aku tak tau apa-apa tentang tugas sekolah sialan itu. Tapi aku tak peduli.

Hari kedua, lebih parah. Aku hanya membawa 1 buku, 1 bolpoin, 1 pensil, 1 penghapus dan 1 tip-ex. Aku tidak membawa buku paket yang sudah kubeli sebelum masuk, karena aku tak tau buku apa yang harus kubawa. Tapi, tenang saja, aku sudah membaca dan menghafal keseluruhan buku itu. Jadi, aku selalu dapat menjawab pertanyaan guru-guru. Tapi, guru-guru itu selalu heran jika melihat aku yang hanya membawa sedikit peralatan untuk sekolah tapi dengan otak yang mengalir seperti air terjun.

Hari ketiga, hmm… ini lebih baik daripada sebelumnya. Aku sudah menulis jadwal dan sudah membawa paket yang diharuskan dibawa. Saat di perjalanan menuju sekolah PERDAMAIAN itu, aku bertemu Cathleen, salah seorang temanku yang lemah lembut dan sangat penakut. Tapi aku suka dengannya dan aku menginginkan ia menjadi sahabatku. Tapi, buru-buru kuhapus pikiran itu karena aku ingat bahwa dia penggemar berat si Lovely. O, iya, belum sempat kupraktikkan jurusku kepadanya.
Pelajaran tidak lebih baik. Fisika tentang asam, basa, garam yang sedikit menjurus ke Kimia dengan pengajar yang (maaf) plontos dan berlogat Prancis yang kental. Bahasa yang terus menurus mendengarkan ceramah dari seorang guru muda yang sebenarnya cantik, hanya saja (maaf) mulutnya tak lebih kecil dari bebek. Ekonomi pelajaran yang membahas tentang produksi, konsumsi dan distribusi, juga tak ketinggalan mempelajari uang. Aku jadi berpikir, apakah guru pelajaran Ekonomi itu (sekali lagi, maaf) mata duitan, karena setiap pelajarannya hanya membahas tentang uang, uang dan uang. Matematika adalah pelajaran yang paling mending dari semuanya. Hanya saja, aku tak habis pikir mengapa aku dimasukkan ke kelas yang lamban ini. Karena kelas yang lamban ini, maka pelajaran pun tak maju-maju.
Aku ingin ULANGAN. Membacanya saja, kalian pasti heran dan tak menginginkannya. Tapi, aku sangat menyukainya. Bagiku yang menyukai tantangan, ulangan adalah tantangan yang sangat menantang. Pelajaran adalah cara melewati tantangan itu dan nilai adalah hasil dari tantangan yang telah kita lewati itu, apakah berhasil atau tidak.

Akhirnya hari keempat. ULANGAN. Cihuii…. Aku dapat nilai 100 dalam ulangan Bahasa mendadak. Soal-soalnya sangat mudah. Tau nggak, nilai si Lovely? Ia adalah anak yang nilainya paling rendah, hanya benar 1 soal dari 10 soal. Itupun soal yang dapat dinalar.

Ah, akhirnya hari kelima. Saat yang sangat kutunggu, yaitu menjotos si Lovely. Salah sendiri mulai duluan.
“Stefani bohong…, Stefani bohong…, Stefani besar mulut…, cuma bisa omong nggak ada bukti…. Apakah Stefani bisa bermain karate??? Jawabannya nol besar, hahaha….” Ia membuatnya seperti lagu. Ia juga memanggilku tengan panggilan Stefani, nama yang paling kubenci. Terlalu cewek. Ia masih belum puas.
“S-T-E-F-A-N-I, Stefani adalah nama yang cantik, tetapi ia tak mau dipanggil begitu. Ia minta dipanggil menggunakan nama Stefan yang bagiku sangat jelek. Artinya….” Belum lagi ia sempat menyelesaikan kalimatnya, tangan kananku sudah melayang ke pipi empuknya dan dengan tangan kiriku, aku mengunci tubuhnya hingga ia tak bisa bergerak.
“Stefani, apa yang kamu lakukan?” tanya Cathleen. Aku tak tau ia marah atau kagum karena mukanya yang polos itu sulit diartikan.
“Aku? A… aku… habis dia mulai duluan, sih!” jawabku sambil menunjuk si Lovely. Jangan panggil aku Stefani, nama yang terlalu cewek itu!Wah, bisa kurasakan mukaku merah padam karena salah tingkah.
“Maaf, aku nggak tau kalo kamu nggak suka dipanggil Stefani,” katanya meminta maaf. “Tapi, bukan itu maksudku. Aku nggak marah kamu melakukan jurus itu pada si Lovely. Aku justru kagum. Aku suka pertengkaran sepertimu. Maukah kau ajari aku beberapa jurus karate itu?”
Hah, yang benar? Aku nggak mimpi, kan? Mukaku merah lagi, tapi kali ini gara-gara seneng banget.
“Kenapa kamu nggak ikut aku aja besok ke Karate Course? Di Mango Street nomer 33. Mau?” tanyaku.
“Okelah kalau begitu. Besok kamu jemput aku di rumahku. Fillico Street nomer 10. Tapi, biayanya mahal nggak?” kata Cathleen.
“Murah, cuma 3 Dollar per bulan. Rumahku di Fillico Street nomer 20, lho! Tapi, kok aku nggak tau kamu, sih?” tanyaku.
“Aku kan baru pindah kemarin,” jawab Cathleen. “Eh, di sini kok nggak enak, ya? O, iya, kan ada si Lovely. Pindah aja, yuk!”
Aku dan Cathleen pergi ke kantin. Ia menceritakan alasan mengapa ia berteman dengan si Lovely. Ternyata, ia ingin mendekatiku dengan cara mendekati si Lovely yang duduk sebangku denganku. Ia memang pemalu, sangat pemalu.
Kabar baiknya, aku dan Cathleen bersahabat. Tetapi kabar buruknya, aku dihukum karena bermain karate di sekolah yang penuh damai ini.

Hari keenamku…… rasanya…… nggak, sangat susah dilukiskan. Tapi, yang jelas aku seneng banget. Tempat dudukku dipindah di sebelah Cathleen, karena guru-guru takut si Lovely kehilangan separo pipinya.
Tet…, bel istirahat berbunyi. Aku segera ke kantin bersama Cathleen. Wah, di depan TV rame banget, sih? Ada apa ya?
“Berita terbaru, murid kelas 7-1 bernama Stefani Malley McMaroon telah mengeluarkan jurus karatenya karena ia jengkel dengan Mary Nonary Auriry yang biasa dipanggil si Lovely. Ms. Auriry telah mengejek Ms. McMaroon dengan kata-kata yang panas. Fans Ms. Auriry, Cathleen Jocelyn Monety justru bersahabat dengan Ms. McMaroon karena Ms. Monety kagum akan jurus Ms. McMaroon.
“Berita seru lainnya…,” kata pembawa acara di TV yang ternyata adalah anak kelas 9-3 bernama Milka Donia Smith. Setelah mendengarkan berita, murid-murid berbisik-bisik dan menunjuk-nunjuk aku serta Cathleen.
“Wah, kalian masuk berita sekolah, nih!” kata seseorang di belakang kami. Dia adalah…
“Liza? Ngapain kamu di sini?” tanyaku dan Cathleen bersamaan.
“Mengirim surat dari fans kalian. Termasuk aku!” jawab Liza santai.
Oh, my God. Nggak mungkin, kita juga punya fans. Keren!” seruku.
“He-eh, baca aja dulu suratnya!” suruh Liza. Aku dan Cathleen langsung membuka semua surat. Baca, nih salah satunya. Ini yang paling normal. Habis yang lain aneh-aneh, sih!


Dear, Stefan, Cathleen,
Aku Lucy, kelas 3-3
Congratulation, ya!!!
Aku salut sama kamu, Stef!!! Ajarin jurusnya, dong!!!
Cath, cocok banget, deh!!! Maksudku kamu dan Stefan sahabatan.
Pesenku, jauhi si Lovely!!!
Dia suka memeras kami yang lebih kecil dan kalau sama kakak kelas, wuih..., caper banget!!!
Stef, Cath, temui kami para penggemarmu di istirahat kedua di depan ruang Bahasa.

                                                                     Luph,
                                   Lucy
 Lucy Margaretta Mavira



Dan ini yang paling aneh sekaligus paling kreatif.






Stefan dan Cathleen                                
Bravo, my hero!!!                        
Hai, aku Karen
        Kelas 5-4
Berjuta tembakan menunggu                                 Polisi,
        Di istirahat kedua
Depan ruang Bahasa                                       LoReNd
        Dariku dan temen-temen                Karen Lorend Naguella
Fans setiamu
        Hati-hati para buronan
Angkat tangan sebelum...
        Tertembak kejutan


“Kreatif, ya!!! Karen..., sering denger namanya,” komentar Cathleen.
“Dia kan bintang sekolah. Juara apa aja. Bahkan, dia buat buku yang judulnya ‘My Lovely Little Diary’,” jawab Liza. “Denger-denger,dia malah mau buat buku lagi dengan judul ‘My Hero’, dengan tokoh utamanya kalian,”
“Betul, aku punya bukunya. Ceritanya keren!!!” kataku.
“Gimana, nih, kalian nanti bisa, kan?” tanya Liza.
“Apa? Oh, istirahat kedua. Ok...,” jawabku.
Tet..., bel masuk berbunyi. Pelajaran yang sama terus menerus diulang karena ada beberapa anak yang belum bisa. Bosen!!!

Tet..., akhirnya istirahat kedua. Aku dan Cathleen langsung ke depan ruang Bahasa. Waw, hadiah, dari bunga, coklat, kue, es krim dan lain-lain. Bahkan ada spanduk yang berbunyi ‘Our Hero, Stefan and Cathleen, Welcome in the SteCath World’. Lho, lho, wah, penggemar kami berdatangan. Dari yang kelas 1 sampai kelas 9, semuanya 15 anak.
“Perkenalkan diri!!!” kata Liza memimpin.
“Molly Mectunia Prongs, panggilanku Molly, kelas 1-3.”
“Rose Nicole Mellinia, panggilanku Nicole, kelas 2-4.”
“Yolanda Evita McKaron, panggilanku Yolanda, kelas 3-1.”
“Lucy Margaretta Mavira, panggilanku Lucy, kelas 3-3.”
“Emily Nanonia Frost, panggilanku Emily, kelas 4-2.”
“Karen Lorend Naguella, panggilanku Karen, kelas 5-4.”
“Oh, kamu ya yang namanya Karen? Aku punya bukumu. Fantastic!!!” selaku.
Thank’s,” jawab Karen.
“Michiella Conan Fracose, panggilanku Chi-Chi, kelas 5-5.”
“Natasha Malory Twinie, panggilanku Sha-Sha, kelas 5-6.”
“Maria Yohana Smith, panggilanku Maria, kelas 6-1.”
“Kamu adiknya Milka, ya? Pembawa acara berita sekolah itu!!!” sela Cathleen.
“Ya,” jawab Maria.
“Vanessa Lioline Chonchita, panggilanku Lioline, kelas 6-1.
“Liza Catharina Tripzi, satu kelas dengan kalian.”
“Monica Emeline Makenia, panggilanku Monica, kelas 7-3.”
“Nia!!! Jangan bikin kegaduhan, ah!!!” bentak Liza.
“Iya, ya!!! Habis, aku bosen, nih!!!” kata Nia.
“Kezia Martha McVaness, panggilanku Zhi-Zhi, kelas 8-6.”
“Vania Kennon Prizkila, panggilanku Vania, kelas 9-5.”
“Zania Kenny Prizkila, kembaran Vania, biasa dipanggil Zania, kelas 9-5.”
Ok, lalu, apa ini???” tanyaku sambil menunjuk barang-barang yang ada di bawah.
“Untuk kalian, kami juga buat perkumpulan para penggemarmu yang namanya Club SteCath World. Gimana kalau setiap anak yang mau ikut club ini harus ikut ke Karate Course?” tanya Zhi-Zhi.
“Setuju, tapi kalian harus masuk ke tingkat yang paling dasar, nggak papa, kan?” jawabku. Semua mengangguk setuju.

Sore pukul 3...
“Stefan, ayo berangkat!!!” ajak semua temanku yang ada di depan rumah.

Satu tahun, dua tahun, tiga tahun, ya, sudah tiga tahun berlalu. Club Stecath World masih terus berjalan dan anggotanya sudah 50 anak. Demikian pula dengan Karate Course yang sudah penuh dengan anak-anak Lovely, Joy, and Peace School.
Atas permintaan anak-anak Club SteCath World, Karate Course kini bekerja sama dengan sekolah kami.
Berita baiknya, si Lovely sudah tak berani memeras anak-anak kecil lagi karena banyak di antara mereka yang pintar karate.