“Hai, namaku Millie, aku pindahan dari United School, tepatnya di New York, Amerika Serikat. Aku lahir tanggal 3 Oktober 1997,” kataku memperkenalkan diri di sekolah baruku.
“Ms. Madova, silahkan duduk di sebelah Ms. Linova. Untuk yang ingin berkenalan dengan Ms. Madova lebih lanjut, silahkan bertanya sendiri pada saat jam istirahat nanti. Sekarang ambil buku Biologi dan… bla… bla… bla…,” terang Ms. Melody panjang lebar.
Kalian sudah tau kan namaku. Millie, ya, Millie Xiao Madova. Aku memang keturunan China yang lahir di Amerika Serikat. Mataku sipit dan kulitku putih. Aku mempunyai 2 lesung pipi. Emm… apa lagi ya? O iya, aku pindah ke Inggris ini karena ayahku yang bekerja sebagai dokter penyakit dalam, memiliki pekerjaan menjanjikan di Inggris ini.
Tet… Tet…. Jam pelajaran Biologi telah selesai. Kini ketua kelasku yang bernama…, eh, aku tak tau namanya.
“Greeting Ready…,” kata seorang gadis, yaitu ketua kelasku.
“Good morning, Ms. Melody, thank you…,” seru kami semua.
“Gaby, cepat cari Ms. Star, sudah waktunya pelajaran Bahasa,” perintah seorang gadis berambut ikal pendek warna hitam, kalau nggak salah sih namanya Patricia, pada gadis bernama Gaby yang tadi menyiapkan salam. Kini, aku tau nama ketua kelasku, Gaby. A beautiful name, isn’t?
Satu hari, satu minggu, satu bulan, dua bulan, tak terasa 3 bulan sudah terlewati. Tapi, di asrama Princess Girl ini, aku belum punya seorang sahabat. Teman-teman yang satu kamar denganku, seperti Alicia yang populer dan Patricia yang bakat menggambar, mereka sudah bersahabat sejak kelas 1 sampai kelas 7 ini. Lalu, aku teringat pada Felicity, sang kutu buku. Aku yakin, teman sekamarku yang satu ini belum punya sahabat. Tapi, jika ia belum punya sahabat, mana mau ia menjadi sahabatku? Tapi, seperti kata sahabatku dulu, “apa salahnya dicoba?” Aku menemui Felicity di tempat favoritnya, perpustakaan.
“Fel, kau mau jadi sahabatku? Please!” pintaku ke Felicity.
“Millie, bukannya aku nolak, tapi, sahabatku hanya buku. Sorry, Millie!” ia meneruskan membaca bukunya.
Huh, Felicity aja ngak mau apalagi aku Alicia. Ia pasti akan merasa terganggu jika ada aku di dalam persahabatanya dengan Patricia. Tapi, sekali lagi, seperti kata sahabatku dulu, “apa salahnya dicoba?” Nah, itu mereka di kantin sekolah.
“Lis, kamu mau menjadi sahabatku?” tanyaku. “Bersama Patricia.”
“Millie, aku dan Patricia tak bisa bersahabat lagi dengan orang lain. Kami sudah memutuskan itu sejak lama,” jawab Alicia.
“Tapi, kumohon. Aku nggak punya sahabat di sini! Boleh, ya, Pat?” mohonku ke Patricia.
“Millie, seperti kata Alice, nggak ada yang bisa bersahabat lagi dengan kita berdua. Sorry, Millie! Mungkin kau bisa coba Gaby yang cerewet, sok alim dan sombong itu. Aku yakin ia belum punya sahabat,” terang Patricia.
Ah, Gaby. Memang kata teman-teman ia cerewet, sok tau dan sombong. Tapi, cerewet bisa dimaklumi karena ia pemimpin di kelas dan di kamar asramaku. Sok alim karena ia ketua kelas yang harus menjadi contoh yang baik. Sombong, ah mungkin sifat itu bisa kurubah jika aku menjadi sahabatnya.
“Atau mungkin juga Emil, teman sebangkumu yang judes itu. Hahaha...,” sambung Alicia sambil melanjutkan makannya.
Tapi, tentang Emilia Linova itu, aku tak akan pernah mau bersahabat dengannya. Judes, galak, sok tau, menang sendiri, sok ngatur padahal nggak mau diatur, pokoknya NYEBELIN BANGET!!!
Aku hendak ke kamarku ketika aku melihat Gaby membuka pintu kamar. Langsung aja dia kupanggil.
“Gaby, wait me!!!” pangilku saat Gaby akan masuk ke kamar nomer 8, kamarku, Gaby, Alicia dan Felicity.
“Ya Millie, ada apa? Mari kita bicarakan di dalam saja,” panggil Gaby sambil membuka pintu kamar. Aku mengikutinya masuk.
“Ah, aku capek banget,” katanya sambil merebahkan diri di kasurnya. Aku juga duduk di kasur sebelahnya, kasurku. “O iya, Millie, kau mau bicara apa?”
“Gaby, susah sekali aku mendapatkannya. Kuharap kau menyanggupinya,” aku menghela nafas terlebih dahulu, lalu kulanjutkan, “maukah kau menjadi sahabatku? Please!!!”
“Millie,” ia merangkulku. “Thank you. Aku sangat berterima kasih karena ada yang mau mengajakku menjadi sahabat. Selama ini, aku berpikir bahwa aku tak berguna setelah aku kehilangan Celine di kelas 5 dulu. Ia meninggal gara-gara kecelakaan dan pendarahan yang cukup banyak. Ia meminta maaf padaku karena ia tak punya waktu lebih banyak lagi dan ia mendoakan aku supaya punya sahabat yang lebih baik darinya sebelum ia meninggal dan orang itu ternyata kamu!” cerita Gaby. Aku melepaskan rangkulannya dan sekarang, aku merangkulnya lagi.
“Gaby, aku juga berterima kasih sekali karena ada orang yang mau menjadi sahabatku. Aku kangen pada Novi sahabat lamaku yang selalu menasihati aku dan mendoakanku. Ia masih di New York sekarang,” aku juga bercerita tentang sahabat lamaku ke Gaby.
Esoknya, berita persahabatanku dengan Gaby yang kata orang cerewet, sok alim dan sombong itu, langsung tersebar ke semua anak kelas 7. Sejak saat itu, jika ada yang mengejek Gaby atau menjatuhkannya, aku selalu siaga untuk membela dan membangkitkan Gaby kembali. Sejak persahabatanku dengan Gaby, ia mulai berubah menjadi orang yang bijaksana dan rendah hati. Karena itu, banyak yang ingin menjadi sahabatnya. Tapi, ia selalu menolak dengan kata-kata khasnya.
“Aku mendapat banyak pelajaran, nasihat, belaan dan semangat dari Millie. Aku nggak akan pernah bisa membalasnya. Karena itu, aku berusaha untuk membalasnya melalui persahabatan ini. Aku berjanji tak akan mengkhianatinya dengan bersahabat dengan kalian. Sahabatku hanya satu dan abadi untuk selamanya. Ya, sahabatku hanya Millie Xiao Madova yang sipit, putih, cemerlang dan imut itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar